A. Konsep
Pergeseran Bahasa
Pergeseran bahasa, didefinisikan oleh
Weinreich (1953: 68) sebagai penggantian suatu bahasa oleh bahasa lain secara
berangsur-angsur, karena akibat dari kontak bahasa dalam situasi imigrasi.
Saat dilahirkan ke dunia ini, manusia mulai belajar bahasa.
Sedikit demi sedikit, bahasa yang dipelajari olehnya sejak kecil semakin
dikuasainya sehingga jadilah bahasa yang ia pelajari sejak kecil itu sebagai
bahasa pertamanya. Dengan bahasa yang dikuasai olehnya itulah, ia berinteraksi
dengan masyarakat di sekitarnya.
Beranjak remaja, ia sudah menguasai lebih dua atau lebih
bahasa. Semua itu ia peroleh ketika berinteraksi dengan masyarakat atau ketika
di bangku sekolah. Hal ini menyebabkan ia menjadi dwibahasawan atau
multibahasawan. Ketika menjadi dwibahasawan atau multibahasawan, ia
dihadapkan pada pertanyaan, yaitu manakah di antara bahasa yang ia kuasai
merupakan bahasa yang paling penting? Di saat-saat seperti inilah
terjadinya proses pergeseran bahasa, yaitu menempatkan sebuah bahasa menjadi
lebih penting di antara bahasa-bahasa yang ia kuasai.
Contoh yang dapat dikemukakan berdasarkan ilustrasi di atas
adalah sebagai berikut. Seorang anak bahasa pertamanya adalah bahasa A. Lalu,
ketika sekolah dia menguasai bahasa B. Lambat laun ia menyadari bahwa bahasa B
lebih penting atau membawa manfaat yang sangat besar baginya. Hal ini membuat
dia lebih memilih bahasa B daripada bahasa A dalam berinteraksi. Dengan
demikian, posisi bahasa A sebagai bahasa yang utama bagi si anak menjadi
bergeser sebagai bahasa yang ‘termarginalkan’ atau dinomorduakan. Kasus seperti
ini disebut dengan kasus pergeseran bahasa.
Akan tetapi, faktor kedwibahasaan bukanlah satu-satunya
faktor penyebab terjadinya pergeseran bahasa. Terdapat beberapa faktor lain
yang juga merupakan penyebab yang sangat rentan terhadap peristiwa pergeseran
bahasa. Pertama, faktor
perpindahan penduduk. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Chaer (2004:142), pergeseran bahasa (language
shift) menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh seorang penutur atau
sekelompok penutur yang bisa terjadi sebagai akibat perpindahan dari satu
masyarakat tutur ke masyarakat tutur yang lain.
Pergeseran bahasa juga dapat terjadi karena masyarakat yang
didatangi jumlahnya sangat kecil dan terpecah-pecah. Dengan kata lain,
pergeseran bahasa bukan disebabkan oleh masyarakat yang menempati sebuah
wilayah, melainkan oleh pendatang yang mendatangi sebuah wilayah. Kasus seperti
ini pernah terjadi di beberapa wilayah kecil di Inggris ketika industri mereka
berkembang. Beberapa bahasa kecil yang merupakan bahasa penduduk setempat
tergeser oleh bahasa Inggris yang dibawa oleh para buruh industri ke tempat
kecil itu.
Kedua, pergeseran bahasa juga disebabkan
oleh faktor ekonomi. Salah satu faktor ekonomi itu adalah industrialisasi.
Kemajuan ekonomi kadang-kadang mengangkat posisi sebuah bahasa menjadi bahasa
yang memiliki nilai ekonomi tinggi (Sumarsono dan Partana, 2002:237). Kasus ini
dapat dicermati pada bahasa Inggris. Jauh sebelum bahasa Inggris muncul, bahasa
yang pertama sekali dipakai di tingkat internasional adalah bahasa Latin.
Bahasa ini menjadi bahasa yang dipilih oleh masyarakat, terutama masyarakat
pelajar. Namun, seiring dengan berkembangnya zaman, bahasa Latin kemudian
ditinggalkan orang. Konon katanya bahasa ini ditinggalkan karena terlalu
rumitnya struktur bahasa Latin ini. lambat laun karena kerumitan ini orang
beralih kepada bahasa Prancis. Bahasa ini memiliki kedudukan layaknya bahasa
Latin dulu. Akan tetapi, sebagaimana bahasa Latin, bahasa ini kemudian
ditinggalkan orang. Karena semakin maju perekonomian di Inggris yang ditandai
oleh adanya revolusi industri orang kemudian beralih ke bahasa Inggris. Bahasa
ini akhirnya menjadi bahasa internasional, mengalahkan bahasa Latin dan bahasa
Prancis.
Sekarang orang berbondong-bondong belajar bahasa Inggris.
Bahkan demi bahasa Inggris, orang rela meninggalkan bahasa pertamanya.
Kedudukan bahasa Inggris ini semakin diperkuat oleh adanya
perusahaan-perusahaan baik swasta maupun negeri yang menjadikan bahasa Inggris
sebagai salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pelamar kerja.
Bukan hanya itu. Di tingkat perguruan tinggi saja lulus TOEFL merupakan salah
satu syarat untuk dapat mengikuti sidang sarjana. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Jawabannya tentu saja karena Eropa merupakan penguasa ekonomi di dunia ini.
Ketiga, pergeseran bahasa menurut
Sumarsono dan Partana (2002:237) juga disebabkan oleh sekolah. Sekolah
sering juga dituding sebagai faktor penyebab bergesernya bahasa ibu murid
karena sekolah biasanya mengajarkan bahasa asing kepada anak-anak. Hal ini pula
yang kadangkala menjadi penyebab bergesernya posisi bahasa daerah. Para orang
tua enggan mengajari anaknya bahasa daerah karena mereka berpikir bahwa anaknya
akan susah memahami mata pelajaran yang disampaikan oleh gurunya dengan
menggunakan bahasa Indonesia. Akibatnya anak tidak mampu berbahasa daerah atau
paling tidak anak hanya dapat memahami bahasa daerah tanpa mampu berinteraksi.
B. Sebab-sebab Terjadi Pergeseseran
Dalam banyak
komunitas kecil penutur, pergeseran bahasa berjalan dari domain ke domain.
Kecenderungan umum untuk bahasa yang ‘lebih besar’ menginvasi domain bahasa
yang lebih kecil. Bahasa Inggris menginvasi domain bahasa Belanda, bahasa
Belanda menginvasi domain bahasa Frisian, Jerman menginvasi domain
Rheto-Romance, Prancis menginvasi domain Breton, etc,. dan tidak sebaliknya.
Bagaimanapun, dalam situasi kompleks multibahasa, ini tidak harus bahasa yang
paling besar yang merupakan penyerbu paling hebat. Dalam banyak konteks Afrika
di
mana susunan tiga tingkatan dari bahasa daerah lokal, lingua franca regional dan bahasa bekas
penjajah merupakan tipikal, pergeseran dari bahasa daerha lokal menjadi bahasa
Afrika yang digunakan secara umum seperti Swahili, Hausa, Manding, dan Songhai
menjadi lebih umum daripada bahasa Inggris, Portugis, atau Prancis. Dalam hal
ini, pergeseran bahasa bukan merupakan hasil dari keahlian teknik sosial tetapi
terjadi secara spontan saat komunitas mengadaptasi maksud komunikasi mereka
menjadi komunikasi yang dibutuhkan. Matthias Brenziger, ahli dalam pergeseran
bahasa di Afrika, memberikan penjelasan
berikut ini: ‘ asimilasi karena pilihan akan menjadi alasan utama dari penolakan
bahasa minoritas di seluruh dunia di
masa depan’ (Brenzinger 1996: 2820).
Seperti yang telah kita lihat, alasan
terjadinya pergeseran bahasa dan pengurangan keanekaragaman bahasa di seluruh
dunia sangat banyak. Hal ini membutuhkan diskusi yang lebih jauh lagi.
Pergeseran bahasa selalu searah dengan kegunaan yang lebih besar dari bahasa.
Sebab-sebab
pergeseran lainnya adalah kondisi tertentu cenderung
dikaitkan dengan pergeseran bahasa dalam beberapa kajian fenomena tersebut.
Mungkin kondisi yang paling mendasar adalah komunitas bilingualisme. Penting
untuk dicatat bahwa bilingualisme bukan merupakan kondisi yang cukup untuk
pergeseran, meskipun hal itu bisa termasuk kedalamnya. Hampir semua kasus
pergeseran bahasa komunitas muncul melalui switching antargenerasi (Lieberson
1972, 1980). Dengan kata lain, sebagian besar individu dalam komunitas jarang
sekali menggunakan monolingual dan mengganti dengan bahasa lain dalam hidup
mereka. Dalam kasus tertentu, satu generasi adalah bilingual, tapi hanya
menggunakan satu dari dua bahasa yang ada. Karena switching antargenerasi
membutuhkan generasi sebelumnya menjadi bilingual, proporsi populasi bilingual
merupakan 'risiko eksposur' dimana salah satu yang ada pada akhirnya bisa
hilang (Lieberson 1972:242). Bahasa komunitas monolingual hampir pasti akan
dipertahankan selama monolingualism terus berlanjut. Banyak komunitas dwibahasa
tetap menganut bilingual selama puluhan tahun dan berabad-abad, sehingga
keberadaan komunitas bilingualisme tidak berarti bahwa pergeseran akan
berlangsung. Selain bilingualisme, faktor-faktor lain juga harus hadir.
Terdapat
kecenderungan kuat bagi pergeseran bahasa untuk dapat dihubungkan dengan
penyebab yang sama dalam kajian demi kajian. Di antara penyebab yang paling
sering dikutip adalah: migrasi, baik oleh anggota kelompok-kelompok kecil yang
bermigrasi ke daerah di mana bahasa mereka tidak lagi dituturkan mereka, atau
oleh kelompok-kelompok besar yang 'menguasai' penduduk lokal dengan bahasa;
industrialisasi dan perubahan ekonomi lainnya; bahasa di sekolah dan tekanan
pemerintah lainnya; urbanisasi; prestise yang lebih tinggi pada bahasa arah
pergeseran; dan populasi yang lebih kecil dari penutur bahasa yang digeser.
Sama seperti yang kita lihat dalam kasus pemilihan bahasa, bagaimanapun, di
mana faktor yang sama yang dikutip secara mandiri oleh banyak cendikiawan,
terdapat sedikit keberhasilan untuk memprediksi kapan akan terjadi pergeseran
bahasa dengan menggunakan kombinasi dari mereka. Bahkan, terdapat konsensus
yang cukup bahwa kita tidak tahu bagaimana memprediksi pergeseran. Meskipun
banyak dari faktor sosiologis yang paling sering dikutip hadir ketika
pergeseran terjadi, semua itu terlalu mudah untuk menemukan kasus-kasus di mana
beberapa komunitas tutur terkena faktor yang sama, tetapi telah mempertahankan
bahasanya.
Kebanyakan
diskusi mengenai kekhawatiran pergeseran menaruh perhatian pada pergeseran
bahasa kecil, kelompok linguistik yang berstatus rendah yang bergeser ke bahasa
kelompok yang lebih besar atau lebih tinggi statusnya. Meskipun demikian,
terdapat beberapa kasus menarik di mana kelompok yang lebih kuat telah
berasimilasi secara linguistik terhadap orang-orang yang mereka kuasai secara
politik. Mungkin contoh yang paling sering dikutip dari hal ini adalah
pergeseran utama untuk bahasa Inggris oleh Norman Qonqueror dari Inggris pada
abad ke-11. Contoh lain yang cukup familiar dengan kita yaitu, penyebaran
bahasa Guaran antara keturunan kolonis Spanyol di Paraguay, walaupun sejauh in
bahasa Spanyol tidak menghilang, seperti Norman French lakukan di Inggris. Hal
Itu merupakan upaya untuk mencoba mencari tahu apa yang membuat dua kelompok
menaklukkan menyerah bahasa asli mereka pada bahasa dari populasi subjek
(Wardhaug).
Pendorong
Pergeseran: adalah kedwibahasaan masyarakat. Namun
bukanlah satu-satunya kondisi bagi pergeseran. Hampir kasus pergeseran bahasa
terjadi melalui alih
generasi, jarang terjadi sejumlah besar individu dalam suatu masyarakat
menanggalkan bahasa & mengganti dengan bahasa lain dalam kurun hidupnya.
Beberapa faktor pendorong lain adalah 1) Migrasi, pertama kelompok-kelompok
kecil
bermigrasi ke daerah atau negara lain yang tentu saja menyebabkan bahasa mereka
tidak berfungsi di daerah baru. Kedua, gelombang besar penutur bahasa
berimigrasi membanjiri sebuah wilayah kecil dengan sedikit penduduk,
menyebabkan penduduk setempat terpecah bahasanya tergeser. 2) Ekonomi, salah
satu faktornya adalah industrialisasi. Kemajuan ekonomi kadang-kadang
mengangkat posisi sebuah bahasa menjadi bahasa yang mempunyai nilai ekonomi
tinggi. 3) Sekolah, karena sekolah biasa mengajarkan bahasa asing kepada anak-anak,
kemudian menjadi dwibahasawan. Padahal kedwibahasaan mengandung resiko
bergesernya salah satu bahasa.
C. Kepunahan
Bahasa akibat dari Pergeseran Bahasa
Untuk memahami perihal kepunahan bahasa, alangkah baiknya
jika terlebih dahulu dicermati kembali konsep pergeseran bahasa. Dalam konsep
pergeseran bahasa ini dikatakan bahwa bahasa mengalami pergeseran jika
pemakaian antara bahasa pertama dan bahasa kedua tidak seimbang. Ketika
keseimbangan ini tidak ada lagi, dua kemungkinan yang akan muncul. Kemungkinan
yang pertama adalah bahasa pertama tetap bertahan, kedua bahasa pertama
tersingkirkan oleh bahasa kedua. Dari kedua kemungkinan ini, yang mengarah
kepada kepunahan adalah kemungkinan kedua. Bagaimana kemungkinan ini bisa
terjadi? Untuk menjawab hal ini, cermati kembali kasus Fisher yang telah
disebutkan di atas. Pada kasus yang ditemukan oleh Fisher tergambar bahwa
masyarakat monolingual yang menguasai bahasa pertamanya kembali menjadi
masyarakat monolingual yang menguasai bahasa kedua. Apabila kasusnya seperti
ini dikatakanlah bahasa pertama yang pada mulanya dipakai oleh suatu guyup
tutur menjadi punah karena guyup tutur tersebut lebih mengutakan bahasa kedua
(secara total meninggalkan bahasa pertamanya).
Bagaimanakah sebuah bahasa dikatakan punah? Apakah ketika
sebuah bahasa yang tidak dipakai lagi di seluruh dunia disebut sebagai bahasa
yang telah punah ataukah sebuah bahasa yang tidak dipakai lagi dalam sebuah
guyup tutur, tetapi masih dipakai dalam guyup tutur juga disebut dengan bahasa
yang punah. Berkaitan dengan hal ini, pendapat yang dikemukakan oleh Dorian
(Sumarsono dan Partana, 2002:284) dapat menjadi bahan acuan kita. Dorian
mengemukakan bahwa kepunahan bahasa hanya dapat dipakai bagi pergeseran total
di dalam satu guyup saja dan pergeseran itu terjadi dari satu bahasa ke bahasa
yang lain bukan dari ragam bahasa yang satu ke ragam bahasa yang lain dalam
satu bahasa. Artinya, bahasa yang punah tidak tahan terhadap persaingan bahasa
yang lain bukan karena persaingan pertise antarragam bahasa dalam satu bahasa.
Berdasarkan penjelasan Dorian ini, dapat disimpulkan bahwa kepunahan bermakna
terjadinya pergeseran total dari satu bahasa ke bahasa yang lain dalam satu guyup
tutur.
Selanjutnya, Kloss (Sumarsono dan Partana, 2002:286)
menyebutkan bahwa ada tiga tipe utama kepunahan bahasa, yaitu (1) kepunahan
bahasa tanpa terjadinya pergeseran bahasa, (2) kepunahan bahasa karena
pergeseran bahasa, dan (3) kepunahan bahasa nominal melalui metamorfosis.
Tipe pertama yang disebutkan oleh Kloss terjadi karena
lenyapnya guyup tutur pemakai sauté bahasa yang disebabkan oleh bencana alam.
Dalam sebuah tradisi lisan yang hidup di Vanuata, misalnya, diceritakan bahwa
sebuah pulau besar bernama Kuwee terhancurkan oleh letusan gunung berapi Pulau
Tonga dan Pulau Sheperd. Sejumlah kecil penduduknya yang tersisa kemudian
kembali dari pengungsian menuju ke Pulau yang lebih besar yaitu Pulau Efate.
Mereka membawa pula salah satu dialek Efate dan berinteraksi dengan menggunakan
dialek tersebut (Kushartanti, dkk (eds), 2005:186).
Tipe kedua terjadi karena bergesernya pemakaian bahasa
pertama. Kasus ini termasuk kasus yang paling banyak terjadi dan tentu saja
kepunahan karena pergeseran bahasa ini disebabkan oleh berbagai faktor. Sebut
saja misalnya masyarakat Aborigin Australia. Akibat datangnya penduduk baru
dari Eropa, beberapa bahasa Aborigin Australia punah. Selain itu, banyak bahasa
masyarakat Aborigin punah secara paksa, yaitu dengan adanya tekanan dari pihak pendatang
Eropa. Generasi tuanya ditekan untuk memaksa anak-anak mereka menggunakan
bahasa Inggris. Dengan kata lain, punahnya beberapa bahasa masyarakat Aborigin
disebabkan oleh tidak seimbangnya kontak bahasa, yaitu dominasi kelompok
berkuasa yang memberikan tekanan yang sangat kuat terhadap bahasa penduduk yang
dikuasainya. Sebagian penduduk Maori, misalnya, karena dijajah oleh orang
Eropa, mengganti bahasa Ibunya dengan bahasa Inggris, sementara yang masih
mempertahankan bahasa Mauri pun fasih berbahasa Inggris (Kushartanti, dkk
(eds), 2005:186).
Pakar budaya dan bahasa Universitas Negeri Makassar (UNM),
Prof. Dr. Zainuddin Taha, mengatakan bahwa pada abad ini diperkirakan 50 persen
dari 5.000 bahasa di dunia terancam punah, atau setiap dua pekan hilang satu
bahasa. Selanjutnya, dikatakan olehnya bahwa Kepunahan tersebut bukan karena
bahasa itu hilang atau lenyap dari lingkungan peradaban, melainkan para
penuturnya meninggalkannya dan bergeser ke penggunaan bahasa lain yang dianggap
lebih menguntungkan dari segi ekonomi, sosial, politik atau psikologis. Di
Indonesia sendiri, katanya, keadaan pergeseran bahasa yang mengarah kepada
kepunahan ini semakin nyata dalam kehidupan sehari-hari terutama di kalangan
keluarga yang tinggal di perkotaan. Pergeseran ini tidak hanya dialami
bahasa-bahasa daerah yang jumlah penuturnya sudah sangat kurang (bahasa minor),
tetapi juga pada bahasa yang jumlah penuturnya tergolong besar (bahasa mayor)
seperti bahasa Jawa, Bali, Banjar, dan Lampung, termasuk bahasa-bahasa daerah di
Sulawesi Selatan seperti Bugis, Makassar, Toraja, dan Massenrempulu (http://www.gatra.com/2007-06-01/artikel).
Sumber lain, yaitu Tempo
menyebutkan bahwa sebanyak sepuluh bahasa daerah di Indonesia dinyatakan telah
punah, sedangkan puluhan hingga ratusan bahasa daerah lainnya saat ini dalam
keadaan terancam punah. Temuan ini didapat dari hasil penelitian para pakar
bahasa dari sejumlah perguruan tinggi. Menurut Kepala Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, Dendy Sugono, sepuluh bahasa daerah yang telah punah itu
berada di Indonesia bagian timur, yakni di Papua sebanyak sembilan bahasa dan
di Maluku Utara satu bahasa. Salah satu penyebab lunturnya bahasa daerah adalah
fenomena ketertarikan generasi muda mempelajari bahasa asing ketimbang bahasa
daerah. Mereka juga enggan untuk menggunakan bahasa daerahnya untuk komunikasi
keseharian. Asim mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang menjadi penyebab
kepunahan bahasa daerah. Pertama,
vitalisasi etnolinguistik. Ia mencontohkan bahasa Ibrani yang dulu hampir
punah. Namun, karena adanya vitalitas yang tinggi untuk menghidupkan kembali
bahasa Ibrani, bahasa tersebut kini menjadi bahasa nasional. Kedua, kata Asim, adalah faktor biaya
dan keuntungan. Selama ini kecenderungan orang belajar bahasa adalah karena
faktor berapa biaya yang dikeluarkan dan seberapa besar keuntungan yang
diperoleh kelak. Ia menyebutkan bahwa orang rela belajar bahasa Inggris dengan
biaya mahal karena ada keuntungan yang diperoleh kelak.
Dan ketiga,
disebabkan oleh turunnya derajat suatu bahasa menjadi dialek ketika guyup
tuturnya tidak lagi menulis dalam bahasa itu dan mulai memakai bahasa lain.
Bagaimanakah menghambat kepunahan ini? bila merujuk pada
pendapat Asim yang telah disebutkan di atas, usaha menghambat kepunahan dapat
dilakukan dengan beberaapa cara. Pertama, vitalisasi etnolinguistik.
Vitalisasi etnolinguistik ini pernah diterapkan pada bahasa Ibrani yang dipakai
oleh masyarakat Yahudi. Bahasa ini pernah berada di ambang kepunahan. Hal ini
disebabkan oleh banyaknya orang Yahudi yang dibasmi oleh Hitler dalam sebuah
peristiwa yang dikenal dengan nama holocaust. Diperkirakan sebanyak tiga
juta orang Yahudi dibunuh oleh Hitler.
Jumlah ini belum termasuk orang Slav, orang Polandia non-Yahudi, orang Roma dan
Sinti, kaum Freemason, kaum Komunis, pria homoseksual, dan saksi Yehowa. Jika
dikelompokkan, jumlah pembasmian mencapai 60 juta jiwa (Widada, 2007:39).
Akibat pembunuhan terhadap tiga juta orang Yahudi tersebut,
penurut bahasa Ibrani dengan sendirinya berkurang. Oleh karena itu, untuk
menghambat punahnya bahasanya, dilakukanlah vitalisasi etnolinguistik terhadap
bahasa Ibrani sehingga bahasa tersebut sekarang manjedi bahasa nasional. Kedua,
yang dapat dilakukan adalah dengan menggiatkan penerbitan majalah berbahasa
berbahasa daerah bagi media cetak dan menyediakan program khusus berbahasa Aceh
bagi media elektronik. Ketiga, memasukkan sebagian kosakata bahasa
daerah ke dalam bahasa nasional. Berkaitan dengan hal ini, sebut saja misalnya
bahasa Aceh. Kosakata ini setahu penulis tidak ada dalam bahasa nasional kita,
yaitu bahasa Indonesia. Anda boleh mencermati Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Padahal, kosakata bahasa Aceh juga berpotensi menjadi kosakata bahasa Indonesia
layaknya bahasa Jawa, bahasa Sunda, atau bahasa-bahasa daerah lainnya yang
sebagian kosakata bahasanya telah menjadi kosakata bahasa Indonesia.
Salah satu contoh yang dapat ditampilkan adalah timplak.
Kata ini mempunyai arti mencela atau celaan (Aboe Bakar, dkk. 1985:985). Kata
ini sangat cocok menjadi kosakata bahasa Indonesia. Secara kaidah bahasa, yaitu
konsep peluluhan, bunyi awal kata ini memenuhi syarat peluluhan. Jika bunyi
awal diluluhkan, kata timplak akan menjadi menimplak jika diimbuhkan
imbuhan meN- dan dapat pula menjadi penimplakan jika diimbuhkan konfiks peN-an.
Dari segi pelafalan pun, kosakata ini tidak sulit dilafalkan oleh penutur
nonbahasa Aceh. Kasus yang sama juga dapat diterapkan pada kata padubawa.
Dari segi pelafalan, kata ini sangat mudah dilafalkan oleh penutur nonbahasa
Aceh. Selain itu, konsep pelafalan juga memenuhi kata ini. Jika dilekatkan
imbuhan meN-, kata ini menjadi memadubawa, atau jika dilekatkan afiks
peN-, kata tersebut akan menjadi pemadubawa(-an).
Keempat, menjadikan bahasa daerah sebagai
mata pelajaran wajib di berbagai jenjang pendidikan, bukan semata-semata hanya
mata pelajaran muatan lokal.
Kelima, membentuk jurusan atau jika
memungkinkan fakultas di perguruan tinggi yang khusus membidangi bahasa daerah.
Lulusan-lulusan dari jurusan ini akan diterjunkan ke sekolah, media massa baik
cetak maupun elektronik yang memiliki program atau jam tayang yang menggunakan
bahasa daerah sebagai perantara dan tentunya diimbangi dengan insentif yang
layak.
D. Kematian
Bahasa
Pergeseran bahasa
biasanya, secara dramatis, disebut sebagai kematian bahasa. Kematian bahasa
terjadi ketika komunitas bergeser secara total ke bahasa baru sehingga bahasa
lama tidak lagi digunakan. Terdapat sebuah kontroversi tentang apakah kematian
bahasa hanya berlaku apabila komunitas tutur yang melakukan pergeseran bahasa
terdiri dari penutur terakhir yang masih hidup, atau apakah hal itu dapat
diterapkan untuk suatu pergeseran total dalam suatu komunitas, apakah tidak
terdapat orang lain di dunia yang masih menggunakan bahasa tersebut. Tidak
seorang pun ragu bahwa ketika penutur terakhir yang masih hidup dari 'suku
Guaran' di Paraguay meninggal, mungkin pada awal abad kedua puluh satu, suku
Guarani pun akan 'mati'. Tetapi jika komunitas dwi bahasa Hongaria di Oberwart
bergeser seluruhnya ke Jerman, masih akan terdapat banyak penutur Hungaria yang
tinggal di Hungaria (walaupun tidak menggunakan dialek Oberwart). Hongaria akan
'mati' di Oberwart, tapi jelas tidak di seluruh dunia. Dorian (1978:647) adalah
salah satu cendekiawan yang mengambil sudut pandang bahwa kematian bahasa hanya
dapat digunakan dari pergeseran total dalam satu komunitas saja, dengan
ketentuan bahwa pergeseran terjadi dari satu bahasa ke bahasa lain, bukan dari satu variasi bahasa ke variasi lainnya dalam
sebuah bahasa yang sama. Hal itu tidak berarti dalam bentuk prestise dari
sistem linguistik yang sama melainkan bahasa yang ‘mati’ harus mengalah dalam
persaingan dengan bahasa lain. Mengacu pada pergeseran bahasa di Timur
Sutherland, sebuah daerah di Dataran Tinggi Skotlandia ke arah Pennsylvania
Belanda (semacam Jerman), Dorian mengatakan: "Jadi, meskipun bahasa Gaelik
sendiri tidak akan sepenuhnya hilang ketika varietasnya di Timur Sutherland
punah, dan bahasa Jerman jelas akan bertahan runtuhnya Berks County Belanda,
bahasa Gaelik sedang sekarat di
Sutherland timur begitupun bahasa Jerman di Berks County.’ Denison (1977:15)
mengungkapkan sudut pandang berlawanan dalam fashion tongue-in-cheek berikiut:
'meskipun hilangnya semua penutur Basque tanpa jejak itu akan menjadi tanda
"kematian" bahasa, jika semua penutur dialek Wina itu harus dibawa
oleh flu Hong Kong, itu berarti hampir lebih dari sakit kepala untuk
"bahasa Jerman ". Hal ini tidak terlalu penting untuk memutuskan
apakah istilah ‘kematian bahasa’ harus melalui interpretasi yang luas atau
dibatasi secara sempit, selama kita menyadari bahwa itu digunakan di kedua cara
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar