Arsip Blog

Jumat, 22 April 2011

PERGESERAN BAHASA

A. Konsep Pergeseran Bahasa
Pergeseran bahasa, didefinisikan oleh Weinreich (1953: 68) sebagai penggantian suatu bahasa oleh bahasa lain secara berangsur-angsur, karena akibat dari kontak bahasa dalam situasi imigrasi.
Saat dilahirkan ke dunia ini, manusia mulai belajar bahasa. Sedikit demi sedikit, bahasa yang dipelajari olehnya sejak kecil semakin dikuasainya sehingga jadilah bahasa yang ia pelajari sejak kecil itu sebagai bahasa pertamanya. Dengan bahasa yang dikuasai olehnya itulah, ia berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya.
Beranjak remaja, ia sudah menguasai lebih dua atau lebih bahasa. Semua itu ia peroleh ketika berinteraksi dengan masyarakat atau ketika di bangku sekolah. Hal ini menyebabkan ia menjadi dwibahasawan atau multibahasawan. Ketika menjadi dwibahasawan atau multibahasawan,  ia dihadapkan pada pertanyaan, yaitu manakah di antara bahasa yang ia kuasai merupakan bahasa yang paling penting? Di saat-saat seperti inilah terjadinya proses pergeseran bahasa, yaitu menempatkan sebuah bahasa menjadi lebih penting di antara bahasa-bahasa yang ia kuasai.
Contoh yang dapat dikemukakan berdasarkan ilustrasi di atas adalah sebagai berikut. Seorang anak bahasa pertamanya adalah bahasa A. Lalu, ketika sekolah dia menguasai bahasa B. Lambat laun ia menyadari bahwa bahasa B lebih penting atau membawa manfaat yang sangat besar baginya. Hal ini membuat dia lebih memilih bahasa B daripada bahasa A dalam berinteraksi. Dengan demikian, posisi bahasa A sebagai bahasa yang utama bagi si anak menjadi bergeser sebagai bahasa yang ‘termarginalkan’ atau dinomorduakan. Kasus seperti ini disebut dengan kasus pergeseran bahasa.
Akan tetapi, faktor kedwibahasaan bukanlah satu-satunya faktor penyebab terjadinya pergeseran bahasa. Terdapat beberapa faktor lain yang juga merupakan penyebab yang sangat rentan terhadap peristiwa pergeseran bahasa. Pertama, faktor perpindahan penduduk. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chaer (2004:142), pergeseran bahasa (language shift) menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh seorang penutur atau sekelompok penutur yang bisa terjadi sebagai akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur yang lain.
Pergeseran bahasa juga dapat terjadi karena masyarakat yang didatangi jumlahnya sangat kecil dan terpecah-pecah. Dengan kata lain, pergeseran bahasa bukan disebabkan oleh masyarakat yang menempati sebuah wilayah, melainkan oleh pendatang yang mendatangi sebuah wilayah. Kasus seperti ini pernah terjadi di beberapa wilayah kecil di Inggris ketika industri mereka berkembang. Beberapa bahasa kecil yang merupakan bahasa penduduk setempat tergeser oleh bahasa Inggris yang dibawa oleh para buruh industri ke tempat kecil itu.
Kedua, pergeseran bahasa juga disebabkan oleh faktor ekonomi. Salah satu faktor ekonomi itu adalah industrialisasi. Kemajuan ekonomi kadang-kadang mengangkat posisi sebuah bahasa menjadi bahasa yang memiliki nilai ekonomi tinggi (Sumarsono dan Partana, 2002:237). Kasus ini dapat dicermati pada bahasa Inggris. Jauh sebelum bahasa Inggris muncul, bahasa yang pertama sekali dipakai di tingkat internasional adalah bahasa Latin. Bahasa ini menjadi bahasa yang dipilih oleh masyarakat, terutama masyarakat pelajar. Namun, seiring dengan berkembangnya zaman, bahasa Latin kemudian ditinggalkan orang. Konon katanya bahasa ini ditinggalkan karena terlalu rumitnya struktur bahasa Latin ini. lambat laun karena kerumitan ini orang beralih kepada bahasa Prancis. Bahasa ini memiliki kedudukan layaknya bahasa Latin dulu. Akan tetapi, sebagaimana bahasa Latin, bahasa ini kemudian ditinggalkan orang. Karena semakin maju perekonomian di Inggris yang ditandai oleh adanya revolusi industri orang kemudian beralih ke bahasa Inggris. Bahasa ini akhirnya menjadi bahasa internasional, mengalahkan bahasa Latin dan bahasa Prancis.
Sekarang orang berbondong-bondong belajar bahasa Inggris. Bahkan demi bahasa Inggris, orang rela meninggalkan bahasa pertamanya. Kedudukan bahasa Inggris ini semakin diperkuat oleh adanya perusahaan-perusahaan baik swasta maupun negeri yang menjadikan bahasa Inggris sebagai salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pelamar kerja. Bukan hanya itu. Di tingkat perguruan tinggi saja lulus TOEFL merupakan salah satu syarat untuk dapat mengikuti sidang sarjana. Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya tentu saja karena Eropa merupakan penguasa ekonomi di dunia ini.
Ketiga, pergeseran bahasa menurut Sumarsono dan Partana (2002:237) juga disebabkan oleh sekolah. Sekolah sering juga dituding sebagai faktor penyebab bergesernya bahasa ibu murid karena sekolah biasanya mengajarkan bahasa asing kepada anak-anak. Hal ini pula yang kadangkala menjadi penyebab bergesernya posisi bahasa daerah. Para orang tua enggan mengajari anaknya bahasa daerah karena mereka berpikir bahwa anaknya akan susah memahami mata pelajaran yang disampaikan oleh gurunya dengan menggunakan bahasa Indonesia. Akibatnya anak tidak mampu berbahasa daerah atau paling tidak anak hanya dapat memahami bahasa daerah tanpa mampu berinteraksi.
B. Sebab-sebab Terjadi Pergeseseran
Dalam banyak komunitas kecil penutur, pergeseran bahasa berjalan dari domain ke domain. Kecenderungan umum untuk bahasa yang ‘lebih besar’ menginvasi domain bahasa yang lebih kecil. Bahasa Inggris menginvasi domain bahasa Belanda, bahasa Belanda menginvasi domain bahasa Frisian, Jerman menginvasi domain Rheto-Romance, Prancis menginvasi domain Breton, etc,. dan tidak sebaliknya. Bagaimanapun, dalam situasi kompleks multibahasa, ini tidak harus bahasa yang paling besar yang merupakan penyerbu paling hebat. Dalam banyak konteks Afrika di mana susunan tiga tingkatan dari bahasa daerah lokal, lingua franca regional dan bahasa bekas penjajah merupakan tipikal, pergeseran dari bahasa daerha lokal menjadi bahasa Afrika yang digunakan secara umum seperti Swahili, Hausa, Manding, dan Songhai menjadi lebih umum daripada bahasa Inggris, Portugis, atau Prancis. Dalam hal ini, pergeseran bahasa bukan merupakan hasil dari keahlian teknik sosial tetapi terjadi secara spontan saat komunitas mengadaptasi maksud komunikasi mereka menjadi komunikasi yang dibutuhkan. Matthias Brenziger, ahli dalam pergeseran bahasa  di Afrika, memberikan penjelasan berikut ini: ‘ asimilasi karena pilihan akan menjadi alasan utama dari penolakan bahasa minoritas di  seluruh dunia di masa  depan’ (Brenzinger 1996: 2820).
          Seperti yang telah kita lihat, alasan terjadinya pergeseran bahasa dan pengurangan keanekaragaman bahasa di seluruh dunia sangat banyak. Hal ini membutuhkan diskusi yang lebih jauh lagi. Pergeseran bahasa selalu searah dengan kegunaan yang lebih besar dari bahasa.
Sebab-sebab pergeseran lainnya adalah kondisi tertentu cenderung dikaitkan dengan pergeseran bahasa dalam beberapa kajian fenomena tersebut. Mungkin kondisi yang paling mendasar adalah komunitas bilingualisme. Penting untuk dicatat bahwa bilingualisme bukan merupakan kondisi yang cukup untuk pergeseran, meskipun hal itu bisa termasuk kedalamnya. Hampir semua kasus pergeseran bahasa komunitas muncul melalui switching antargenerasi (Lieberson 1972, 1980). Dengan kata lain, sebagian besar individu dalam komunitas jarang sekali menggunakan monolingual dan mengganti dengan bahasa lain dalam hidup mereka. Dalam kasus tertentu, satu generasi adalah bilingual, tapi hanya menggunakan satu dari dua bahasa yang ada. Karena switching antargenerasi membutuhkan generasi sebelumnya menjadi bilingual, proporsi populasi bilingual merupakan 'risiko eksposur' dimana salah satu yang ada pada akhirnya bisa hilang (Lieberson 1972:242). Bahasa komunitas monolingual hampir pasti akan dipertahankan selama monolingualism terus berlanjut. Banyak komunitas dwibahasa tetap menganut bilingual selama puluhan tahun dan berabad-abad, sehingga keberadaan komunitas bilingualisme tidak berarti bahwa pergeseran akan berlangsung. Selain bilingualisme, faktor-faktor lain juga harus hadir.
Terdapat kecenderungan kuat bagi pergeseran bahasa untuk dapat dihubungkan dengan penyebab yang sama dalam kajian demi kajian. Di antara penyebab yang paling sering dikutip adalah: migrasi, baik oleh anggota kelompok-kelompok kecil yang bermigrasi ke daerah di mana bahasa mereka tidak lagi dituturkan mereka, atau oleh kelompok-kelompok besar yang 'menguasai' penduduk lokal dengan bahasa; industrialisasi dan perubahan ekonomi lainnya; bahasa di sekolah dan tekanan pemerintah lainnya; urbanisasi; prestise yang lebih tinggi pada bahasa arah pergeseran; dan populasi yang lebih kecil dari penutur bahasa yang digeser. Sama seperti yang kita lihat dalam kasus pemilihan bahasa, bagaimanapun, di mana faktor yang sama yang dikutip secara mandiri oleh banyak cendikiawan, terdapat sedikit keberhasilan untuk memprediksi kapan akan terjadi pergeseran bahasa dengan menggunakan kombinasi dari mereka. Bahkan, terdapat konsensus yang cukup bahwa kita tidak tahu bagaimana memprediksi pergeseran. Meskipun banyak dari faktor sosiologis yang paling sering dikutip hadir ketika pergeseran terjadi, semua itu terlalu mudah untuk menemukan kasus-kasus di mana beberapa komunitas tutur terkena faktor yang sama, tetapi telah mempertahankan bahasanya.
Kebanyakan diskusi mengenai kekhawatiran pergeseran menaruh perhatian pada pergeseran bahasa kecil, kelompok linguistik yang berstatus rendah yang bergeser ke bahasa kelompok yang lebih besar atau lebih tinggi statusnya. Meskipun demikian, terdapat beberapa kasus menarik di mana kelompok yang lebih kuat telah berasimilasi secara linguistik terhadap orang-orang yang mereka kuasai secara politik. Mungkin contoh yang paling sering dikutip dari hal ini adalah pergeseran utama untuk bahasa Inggris oleh Norman Qonqueror dari Inggris pada abad ke-11. Contoh lain yang cukup familiar dengan kita yaitu, penyebaran bahasa Guaran antara keturunan kolonis Spanyol di Paraguay, walaupun sejauh in bahasa Spanyol tidak menghilang, seperti Norman French lakukan di Inggris. Hal Itu merupakan upaya untuk mencoba mencari tahu apa yang membuat dua kelompok menaklukkan menyerah bahasa asli mereka pada bahasa dari populasi subjek (Wardhaug).
Pendorong Pergeseran: adalah kedwibahasaan masyarakat. Namun bukanlah satu-satunya kondisi bagi pergeseran. Hampir kasus pergeseran bahasa terjadi melalui alih generasi, jarang terjadi sejumlah besar individu dalam suatu masyarakat menanggalkan bahasa & mengganti dengan bahasa lain dalam kurun hidupnya. Beberapa faktor pendorong lain adalah 1) Migrasi, pertama kelompok-kelompok kecil bermigrasi ke daerah atau negara lain yang tentu saja menyebabkan bahasa mereka tidak berfungsi di daerah baru. Kedua, gelombang besar penutur bahasa berimigrasi membanjiri sebuah wilayah kecil dengan sedikit penduduk, menyebabkan penduduk setempat terpecah bahasanya tergeser. 2) Ekonomi, salah satu faktornya adalah industrialisasi. Kemajuan ekonomi kadang-kadang mengangkat posisi sebuah bahasa menjadi bahasa yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. 3) Sekolah, karena sekolah biasa mengajarkan bahasa asing kepada anak-anak, kemudian menjadi dwibahasawan. Padahal kedwibahasaan mengandung resiko bergesernya salah satu bahasa.
C. Kepunahan Bahasa akibat dari Pergeseran Bahasa
Untuk memahami perihal kepunahan bahasa, alangkah baiknya jika terlebih dahulu dicermati kembali konsep pergeseran bahasa. Dalam konsep pergeseran bahasa ini dikatakan bahwa bahasa mengalami pergeseran jika pemakaian antara bahasa pertama dan bahasa kedua tidak seimbang. Ketika keseimbangan ini tidak ada lagi, dua kemungkinan yang akan muncul. Kemungkinan yang pertama adalah bahasa pertama tetap bertahan, kedua bahasa pertama tersingkirkan oleh bahasa kedua. Dari kedua kemungkinan ini, yang mengarah kepada kepunahan adalah kemungkinan kedua. Bagaimana kemungkinan ini bisa terjadi? Untuk menjawab hal ini, cermati kembali kasus Fisher yang telah disebutkan di atas. Pada kasus yang ditemukan oleh Fisher tergambar bahwa masyarakat monolingual yang menguasai bahasa pertamanya kembali menjadi masyarakat monolingual yang menguasai bahasa kedua. Apabila kasusnya seperti ini dikatakanlah bahasa pertama yang pada mulanya dipakai oleh suatu guyup tutur menjadi punah karena guyup tutur tersebut lebih mengutakan bahasa kedua (secara total meninggalkan bahasa pertamanya).
Bagaimanakah sebuah bahasa dikatakan punah? Apakah ketika sebuah bahasa yang tidak dipakai lagi di seluruh dunia disebut sebagai bahasa yang telah punah ataukah sebuah bahasa yang tidak dipakai lagi dalam sebuah guyup tutur, tetapi masih dipakai dalam guyup tutur juga disebut dengan bahasa yang punah. Berkaitan dengan hal ini, pendapat yang dikemukakan oleh Dorian (Sumarsono dan Partana, 2002:284) dapat menjadi bahan acuan kita. Dorian mengemukakan bahwa kepunahan bahasa hanya dapat dipakai bagi pergeseran total di dalam satu guyup saja dan pergeseran itu terjadi dari satu bahasa ke bahasa yang lain bukan dari ragam bahasa yang satu ke ragam bahasa yang lain dalam satu bahasa. Artinya, bahasa yang punah tidak tahan terhadap persaingan bahasa yang lain bukan karena persaingan pertise antarragam bahasa dalam satu bahasa. Berdasarkan penjelasan Dorian ini, dapat disimpulkan bahwa kepunahan bermakna terjadinya pergeseran total dari satu bahasa ke bahasa yang lain dalam satu guyup tutur.
Selanjutnya, Kloss (Sumarsono dan Partana, 2002:286) menyebutkan bahwa ada tiga tipe utama kepunahan bahasa, yaitu (1) kepunahan bahasa tanpa terjadinya pergeseran bahasa, (2) kepunahan bahasa karena pergeseran bahasa, dan (3) kepunahan bahasa nominal melalui metamorfosis.
Tipe pertama yang disebutkan oleh Kloss terjadi karena lenyapnya guyup tutur pemakai sauté bahasa yang disebabkan oleh bencana alam. Dalam sebuah tradisi lisan yang hidup di Vanuata, misalnya, diceritakan bahwa sebuah pulau besar bernama Kuwee terhancurkan oleh letusan gunung berapi Pulau Tonga dan Pulau Sheperd. Sejumlah kecil penduduknya yang tersisa kemudian kembali dari pengungsian menuju ke Pulau yang lebih besar yaitu Pulau Efate. Mereka membawa pula salah satu dialek Efate dan berinteraksi dengan menggunakan dialek tersebut (Kushartanti, dkk (eds), 2005:186).
Tipe kedua terjadi karena bergesernya pemakaian bahasa pertama. Kasus ini termasuk kasus yang paling banyak terjadi dan tentu saja kepunahan karena pergeseran bahasa ini disebabkan oleh berbagai faktor. Sebut saja misalnya masyarakat Aborigin Australia. Akibat datangnya penduduk baru dari Eropa, beberapa bahasa Aborigin Australia punah. Selain itu, banyak bahasa masyarakat Aborigin punah secara paksa, yaitu dengan adanya tekanan dari pihak pendatang Eropa. Generasi tuanya ditekan untuk memaksa anak-anak mereka menggunakan bahasa Inggris. Dengan kata lain, punahnya beberapa bahasa masyarakat Aborigin disebabkan oleh tidak seimbangnya kontak bahasa, yaitu dominasi kelompok berkuasa yang memberikan tekanan yang sangat kuat terhadap bahasa penduduk yang dikuasainya. Sebagian penduduk Maori, misalnya, karena dijajah oleh orang Eropa, mengganti bahasa Ibunya dengan bahasa Inggris, sementara yang masih mempertahankan bahasa Mauri pun fasih berbahasa Inggris (Kushartanti, dkk (eds), 2005:186).
Pakar budaya dan bahasa Universitas Negeri Makassar (UNM), Prof. Dr. Zainuddin Taha, mengatakan bahwa pada abad ini diperkirakan 50 persen dari 5.000 bahasa di dunia terancam punah, atau setiap dua pekan hilang satu bahasa. Selanjutnya, dikatakan olehnya bahwa Kepunahan tersebut bukan karena bahasa itu hilang atau lenyap dari lingkungan peradaban, melainkan para penuturnya meninggalkannya dan bergeser ke penggunaan bahasa lain yang dianggap lebih menguntungkan dari segi ekonomi, sosial, politik atau psikologis. Di Indonesia sendiri, katanya, keadaan pergeseran bahasa yang mengarah kepada kepunahan ini semakin nyata dalam kehidupan sehari-hari terutama di kalangan keluarga yang tinggal di perkotaan. Pergeseran ini tidak hanya dialami bahasa-bahasa daerah yang jumlah penuturnya sudah sangat kurang (bahasa minor), tetapi juga pada bahasa yang jumlah penuturnya tergolong besar (bahasa mayor) seperti bahasa Jawa, Bali, Banjar, dan Lampung, termasuk bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Selatan seperti Bugis, Makassar, Toraja, dan Massenrempulu (http://www.gatra.com/2007-06-01/artikel).
Sumber lain, yaitu Tempo menyebutkan bahwa sebanyak sepuluh bahasa daerah di Indonesia dinyatakan telah punah, sedangkan puluhan hingga ratusan bahasa daerah lainnya saat ini dalam keadaan terancam punah. Temuan ini didapat dari hasil penelitian para pakar bahasa dari sejumlah perguruan tinggi. Menurut Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Dendy Sugono, sepuluh bahasa daerah yang telah punah itu berada di Indonesia bagian timur, yakni di Papua sebanyak sembilan bahasa dan di Maluku Utara satu bahasa. Salah satu penyebab lunturnya bahasa daerah adalah fenomena ketertarikan generasi muda mempelajari bahasa asing ketimbang bahasa daerah. Mereka juga enggan untuk menggunakan bahasa daerahnya untuk komunikasi keseharian. Asim mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang menjadi penyebab kepunahan bahasa daerah. Pertama, vitalisasi etnolinguistik. Ia mencontohkan bahasa Ibrani yang dulu hampir punah. Namun, karena adanya vitalitas yang tinggi untuk menghidupkan kembali bahasa Ibrani, bahasa tersebut kini menjadi bahasa nasional. Kedua, kata Asim, adalah faktor biaya dan keuntungan. Selama ini kecenderungan orang belajar bahasa adalah karena faktor berapa biaya yang dikeluarkan dan seberapa besar keuntungan yang diperoleh kelak. Ia menyebutkan bahwa orang rela belajar bahasa Inggris dengan biaya mahal karena ada keuntungan yang diperoleh kelak.
Dan ketiga, disebabkan oleh turunnya derajat suatu bahasa menjadi dialek ketika guyup tuturnya tidak lagi menulis dalam bahasa itu dan mulai memakai bahasa lain.
Bagaimanakah menghambat kepunahan ini? bila merujuk pada pendapat Asim yang telah disebutkan di atas, usaha menghambat kepunahan dapat dilakukan dengan beberaapa cara. Pertama, vitalisasi etnolinguistik. Vitalisasi etnolinguistik ini pernah diterapkan pada bahasa Ibrani yang dipakai oleh masyarakat Yahudi. Bahasa ini pernah berada di ambang kepunahan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya orang Yahudi yang dibasmi oleh Hitler dalam sebuah peristiwa yang dikenal dengan nama holocaust. Diperkirakan sebanyak tiga  juta orang Yahudi dibunuh oleh Hitler. Jumlah ini belum termasuk orang Slav, orang Polandia non-Yahudi, orang Roma dan Sinti, kaum Freemason, kaum Komunis, pria homoseksual, dan saksi Yehowa. Jika dikelompokkan, jumlah pembasmian mencapai 60 juta jiwa (Widada, 2007:39).
Akibat pembunuhan terhadap tiga juta orang Yahudi tersebut, penurut bahasa Ibrani dengan sendirinya berkurang. Oleh karena itu, untuk menghambat punahnya bahasanya, dilakukanlah vitalisasi etnolinguistik terhadap bahasa Ibrani sehingga bahasa tersebut sekarang manjedi bahasa nasional. Kedua, yang dapat dilakukan adalah dengan menggiatkan penerbitan majalah berbahasa berbahasa daerah bagi media cetak dan menyediakan program khusus berbahasa Aceh bagi media elektronik. Ketiga, memasukkan sebagian kosakata bahasa daerah ke dalam bahasa nasional. Berkaitan dengan hal ini, sebut saja misalnya bahasa Aceh. Kosakata ini setahu penulis tidak ada dalam bahasa nasional kita, yaitu bahasa Indonesia. Anda boleh mencermati Kamus Besar Bahasa Indonesia. Padahal, kosakata bahasa Aceh juga berpotensi menjadi kosakata bahasa Indonesia layaknya bahasa Jawa, bahasa Sunda, atau bahasa-bahasa daerah lainnya yang sebagian kosakata bahasanya telah menjadi kosakata bahasa Indonesia.
Salah satu contoh yang dapat ditampilkan adalah timplak. Kata ini mempunyai arti mencela atau celaan (Aboe Bakar, dkk. 1985:985). Kata ini sangat cocok menjadi kosakata bahasa Indonesia. Secara kaidah bahasa, yaitu konsep peluluhan, bunyi awal kata ini memenuhi syarat peluluhan. Jika bunyi awal diluluhkan, kata timplak akan menjadi menimplak jika diimbuhkan imbuhan meN- dan dapat pula menjadi penimplakan jika diimbuhkan konfiks peN-an. Dari segi pelafalan pun, kosakata ini tidak sulit dilafalkan oleh penutur nonbahasa Aceh. Kasus yang sama juga dapat diterapkan pada kata padubawa. Dari segi pelafalan, kata ini sangat mudah dilafalkan oleh penutur nonbahasa Aceh. Selain itu, konsep pelafalan juga memenuhi kata ini. Jika dilekatkan imbuhan meN-, kata ini menjadi memadubawa, atau jika dilekatkan afiks peN-, kata tersebut akan menjadi pemadubawa(-an).
Keempat, menjadikan bahasa daerah sebagai mata pelajaran wajib di berbagai jenjang pendidikan, bukan semata-semata hanya mata pelajaran muatan lokal.
Kelima, membentuk jurusan atau jika memungkinkan fakultas di perguruan tinggi yang khusus membidangi bahasa daerah. Lulusan-lulusan dari jurusan ini akan diterjunkan ke sekolah, media massa baik cetak maupun elektronik yang memiliki program atau jam tayang yang menggunakan bahasa daerah sebagai perantara dan tentunya diimbangi dengan insentif yang layak.
D. Kematian Bahasa
Pergeseran bahasa biasanya, secara dramatis, disebut sebagai kematian bahasa. Kematian bahasa terjadi ketika komunitas bergeser secara total ke bahasa baru sehingga bahasa lama tidak lagi digunakan. Terdapat sebuah kontroversi tentang apakah kematian bahasa hanya berlaku apabila komunitas tutur yang melakukan pergeseran bahasa terdiri dari penutur terakhir yang masih hidup, atau apakah hal itu dapat diterapkan untuk suatu pergeseran total dalam suatu komunitas, apakah tidak terdapat orang lain di dunia yang masih menggunakan bahasa tersebut. Tidak seorang pun ragu bahwa ketika penutur terakhir yang masih hidup dari 'suku Guaran' di Paraguay meninggal, mungkin pada awal abad kedua puluh satu, suku Guarani pun akan 'mati'. Tetapi jika komunitas dwi bahasa Hongaria di Oberwart bergeser seluruhnya ke Jerman, masih akan terdapat banyak penutur Hungaria yang tinggal di Hungaria (walaupun tidak menggunakan dialek Oberwart). Hongaria akan 'mati' di Oberwart, tapi jelas tidak di seluruh dunia. Dorian (1978:647) adalah salah satu cendekiawan yang mengambil sudut pandang bahwa kematian bahasa hanya dapat digunakan dari pergeseran total dalam satu komunitas saja, dengan ketentuan bahwa pergeseran terjadi dari satu bahasa  ke bahasa lain, bukan dari satu  variasi bahasa ke variasi lainnya dalam sebuah bahasa yang sama. Hal itu tidak berarti dalam bentuk prestise dari sistem linguistik yang sama melainkan bahasa yang ‘mati’ harus mengalah dalam persaingan dengan bahasa lain. Mengacu pada pergeseran bahasa di Timur Sutherland, sebuah daerah di Dataran Tinggi Skotlandia ke arah Pennsylvania Belanda (semacam Jerman), Dorian mengatakan: "Jadi, meskipun bahasa Gaelik sendiri tidak akan sepenuhnya hilang ketika varietasnya di Timur Sutherland punah, dan bahasa Jerman jelas akan bertahan runtuhnya Berks County Belanda, bahasa Gaelik sedang sekarat di  Sutherland timur begitupun bahasa Jerman di Berks County.’ Denison (1977:15) mengungkapkan sudut pandang berlawanan dalam fashion tongue-in-cheek berikiut: 'meskipun hilangnya semua penutur Basque tanpa jejak itu akan menjadi tanda "kematian" bahasa, jika semua penutur dialek Wina itu harus dibawa oleh flu Hong Kong, itu berarti hampir lebih dari sakit kepala untuk "bahasa Jerman ". Hal ini tidak terlalu penting untuk memutuskan apakah istilah ‘kematian bahasa’ harus melalui interpretasi yang luas atau dibatasi secara sempit, selama kita menyadari bahwa itu digunakan di kedua cara ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar