Arsip Blog

Kamis, 14 April 2011

POSKOLONIALISME DAN POSMODERNISME


Teori Poskolonial ( Postcolonial Theory )
            Pemikiran poskolonial telah menjadi desentralisasi budaya barat dan nilai-nilainya dalam studi literatur . Ditinjau dari perspektif poskolonial dunia, maka karya-karya besar  pemikiran Eropa Barat dan Kebudayaan Amerika yang mendominasi filsafat, teori kritis serta karya-karya sastra di belahan dunia, khususnya pada daerah yang sebelumnya di bawah pemerintahan colonial.
            Konsep Derrida tentang “white mythology”, telah berusaha untuk masuk keseluruh dunia dan mendukung serangan poskolonial yang dominan pada ideologi – ideology barat. Penolakan postmodern tentang ‘grand narratives’ , telah memperkenalkan pada dunia tentang bentuk-bentuk pemikiran barat, dan sangat berpengaruh.
            Ada beberapa penulis yang sangat terkenal mengenai teori poskolonial, yaitu : Edward Said, Homi Bhabha, dan GC Spivak.
1.    Edward Said (1935-)
Said berhubungan dengan teori-teori wacana postruktural, terutama Foucault, untuk masalah politik yang nyata di dunia. Karya beliau yang paling penting dan berharga adalah ‘Orientalism (1978). Said membedakan istilah ‘orientalism’ dalam tiga penggunaan. Pertama, istilah tersebut merujuk pada periode yang panjang tentang hubungan budaya dan politik di Eropa dan Asia. Kedua, istilah tersebut digunakan pada studi akademik tentang bahasa dan budaya oriental,  dari awal abad 19. Ketiga, istilah tersebut merujuk pada pandangan stereotype dari kaum Oriental, yang dikembangkan oleh beberapa generasi penulis dan sarjana  barat, serta pandangan-pandangan prejudis (prasangka) mereka tentang oriental sebagai criminal dan palsu. Bukti yang nyata, bukan saja dari  kesusasteraan, tetapi juga dari sumber-sumber seperti dokumen pemerintahan colonial, sejarah, studi agama dan bahasa, buku travel, dan seterusnya.
            Menurut pandangan Said,  adanya perbedaan antara ‘Orient’ (Timur) dan ‘ Occident’ (Barat) hanyalah dalam ‘imaginative geography’ . Analisis Said mengenai wacana social yang berbagai macam, pada dasarnya adalah dekonstruktif dan “against the grain”. Tujuannya adalah untuk ‘decentre’ kesadaran akan dunia ketiga “Third World”, dan menyediakan suatu kritik yang mengurangi kekuasaan wacana  dunia pertama “Fist World.”
            Bagi Said, semua representasi dari Timur (Orient) oleh Barat (West) didasari suatu upaya untuk mendominasi dan menaklukkannya. Kaum orientalis menyiapkan tujuan dari hegemoni barat , untuk melegitimasi kaum imperialis barat dan meyakinkan penduduk, seperti daerah-daerah yang menerima budaya barat adalah proses peradaban (civilization) yang positif.
            Untuk pendefinisian Timur (East), kaum orientalis juga membatasi apa yang disusun sendiri oleh Barat (dalam hal cara oposisi binary). Penekanan sensuality, primitive, dan despotism (kelaliman) dari Timur, menggaris bawahi kualitas rasional dan demokratis. Menggaris bawahi teori-teori Said, literature yang ditulis oleh penduduk asli dapat dilihat dalam suatu cahaya yang baru ( a new light). Dalam tulisan “The World, The Text and the Critics” (1983), Said mengkritik semua bentuk analisis teks yang mempertimbangkan teks sebagai sesuatu yang berpisah dari dunia dimana mereka berada. Gagasan tersebut kemungkinan menjadi bacaan yang tak terbatas dari suatu teks yang hanya dapat dinikmati seperti teks dari dunia nyata.  
2.    Homi Bhaha (1950-)
Pada dasarnya, Homi Bhabha tertarik dalam mengeksplorasi teks-teks non-canonical yang mana refleksi dari masyarakat margin dalam dunia poskolonial. Dia mengeksplorasi interrelasi yang tajam antara budaya-budaya, dominan dan subjugated (takluk). Ide-ide yang dieksplorasi, khususnya dalam majalah volume ‘The Location of Culture (1994)’ . Ada beberapa contoh seperti ‘mimics’ dalam karya-karya literature yang mencari hubungan antara British (Inggris) dan Indians : dalam karya Rudyard Kipling, seperti Kim, dan dalam E M Forster’s : A Passage to India, mereka eksis diantara budaya-budaya.
Bhabha memberi argumen bahwa interaksi antara koloniser dan kolonise mengarah kepada fusi norma-norma budaya, yang mana menguatkan kekuatan colonial, juga dalam ‘mimicry’, mengancam untuk mendestabilisenya. Hal ini memungkinkan karena identitas koloniser tidak stabil, keberadaan dalam suatu situasi ekspatriasi yang terisolasi.
3.    GC Spivak (1942-)
Spivak telah digambarkan sebagai orang yang pertama mengemukakan teori kaum feminis post-colonial. Dia mengkritik faham feminis barat, terutama focus pada dunia putih (world of white),  dan heteroseksual kelas menengah (middle-class). Dia juga tertarik pada peran kelas social dan berfokus pada studi poskolonial yang dikenal sebagai ‘subaltern’, asalnya adalah istilah militer yang merujuk pada tingkat atau posisi  yang lebih rendah. Penggunaannya dalam teori kritik berasal dari tulisan-tulisan Gramsci. Spivak menggunakan istilah yang merujuk pada semua level (tingkatan) masyarakat colonial dan poskolonial yang lebih rendah, pengangguran, tunawisma, petani, dan sebagainya. Dia tertarik pada nasib ‘female subaltern’. Dia berpendapat bahwa ‘female subaltern’ tidak misrepresented ( dalam Can the Subaltern Speak? 1988).
Spivak memberi argument bahwa dalam praktek tradisional Indian, membakar jendela pada onggokan kayu api pemakaman untuk suami-suami mereka, koloniser Indian dan British membiarkan wanita untuk mengekspresikan sendiri pandangan- pandangannya. Dia menggabungkan Marxisme dan pendekatan dekonstruktif dalam analisis teks kolonialis, mempertunjukkan bagaimana mereka membuat oposisi antara kesadaran colonialist dan kekacauan (chaos) primitive fiktif.
 POSTMODERNISM
Salah satu aspek yang sangat bermasalah dari ‘postmodernism’ adalah istilah ‘postmodernism’ itu sendiri. Sulit untuk menemukan persetujuan diantara beberapa kritik pada tingkatan arti dan implikasinya. Beberapa kritik memahami postmodernism yang kemudian menjadi suatu perkembangan ide-ide modernist, namun yang lainnya menganggap sebagai perbedaan secara radikal. Beberapa diantaranya mempercayai dan menganggap para penulis dan artist dalam periode pre-modern pada dasarnya adalah postmodern, meskipun konsepnya belum dipahami.
Teori-teori Freud mengenai ‘unconscious prefigured’ dalam pemikiran Roman German (German Romantic thought). Filosof Jerman, Jurgen Habermas membantah bahwa ‘project of modernity’ masih jauh dan terus melanjutkan tujuan-tujuannya (maksudnya  adalah nilai-nilai Pencerahan/Enlightenment untuk  alasan dan social justis).
Pada umumnya, Istilah ‘postmodernism’ (dan asalnya sama) juga sering diartikan sebagai peran media di akhir abad 20 bagi masyarakat kapitalis. Meskipun pemakaiannya jelas bahwa ‘postmodernist theory’ berimplikasi pada stans kritik bahwa suatu usaha untuk menjelaskan perkembangan social dan budaya yang berarti ‘grand narratives’ ( mencakup semua teori atau catatan) yang mungkin tidak dapat dikerjakan atau diterima lebih lama 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar