Arsip Blog

Sabtu, 16 April 2011

METODE PENGAJARAN BAHASA

Pengajaran bahasa melibatkan sekurang‑kurangnya tiga disiplin, yakni (a) linguistik, (b) psikologi dan (c) ilmu pendidikan. Linguistik memberi informasi kepada kita mengenai bahasa secara umum dan mengenai bahasa‑bahasa tertentu. Psikologi menguraikan bagaimana orang belajar sesuatu, dan Ilmu Pendidikan atau Pedagogi memungkinkan kita untuk meramu semua keterangan dari (a) dan (b) menjadi satu pendekatan,  metode, dan teknik yang sesuai dipakai di kelas untuk memudahkan proses belajar‑mengajar bahasa.
Sejalan dengan perkembangan ilmu linguistik dan ilmu psikologi ini, metode‑metode itu mencerminkan disiplin-­disiplin tersebut di atas, juga ikut berubah. Oleh karena itu, jawaban atas pertanyaan “Apa bahasa itu?" dan "Ba­gaimana bahasa itu dipelajari orang?", dan “Metode apa yang paling baik untuk mengajar bahasa kedua/asing?” sehingga kita masih tetap mencari‑cari jawaban yang tepat atas pertanyaan yang di­ajukan tersebut.
Ada kemungkinan bahwa apa yang sekarang dianggap metode pengajaran bahasa kedua/asing yang paling baik ternyata tidak mernuaskan apabila diperoleh penemuan -penernuan yang datang dari bidang linguistik dan psiko­logi.
Kalau kita meninjau perubahan‑perubahan yang paling menonjol dalam linguistik dan psikologi hingga dewasa ini, yang berpengaruh besar pada pendidikan bahasa sejak era 1970-an, yaitu Grammar  Translation Method, Gouin and The Series Mdethod, Audiolingual Method, Cognitive Code Learning, Community Language Learning, Suggestopedia, Silent Way, Total Physical Response (TPR), dan The Natural Approach.

LANGUAGE AND CULTURE


The Importance of Language
To state that language is important is merely to acknowledge the obvious, yet the significant influence language has on human behavior is frequently overlooked. The ability to speak and write is often taken for granted. Through our use of sounds and symbols, we are able to give life to our ideas-as Henry Ward Beecher once wrote, “Thought is the blossom; language the opening bud; action the fruit behind it.” Or as Cart mill has observed:
Language lets us get vast numbers of big, smart fellow primates all working together on a single task-building the Great Wall of China or fighting Word War II or flying to the moon. It lets us construct and communicate the gorgeous fantasies of literature and the propound fables of myth. It lets us cheat death by pouring out our knowledge, dreams, and memories into younger people’s minds. And it does powerful things for us inside our own minds because we do a lot of thinking by talking silently to ourselves. Without language, we would be only a sort of upright chimpanzee with funny feet and clever hands. With, it we are the self-possessed masters of the planet.

Masalah Moral dalam Ilmu Bahasa dan Penggunaannya


Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan masalah moral. Ketika Copernicus (1473—1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa "bumi yang berputar mengelilingi matahari" dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan dalam ajaran agama maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan (nilai moral), seperti agama. Dari interaksi ilmu dan moral tersebut timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo oleh pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari (Sumantri, 2001:233).