Arsip Blog

Sabtu, 28 Mei 2011

CERPEN DAN NOVEL SERTA PENGAJARANNYA


Sastra merupakan salah satu objek kajian yang selalu menarik para peneliti, karena karya sastra mengisyaratkan gambaran hidup dan kehidupan, manusia dan kemanusian yang secara luas dan kompleks. Karya sastra mengungkapkan realitas kehidupan masyarakat secara imajiner, artinya karya sastra merupakan representasi dari cermin masyarakat. Priyatni (2010) mengatakan, bahwa sastra merupakan sebuah cermin yang memberikan kepada kita sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup dan lebih dinamik.     
Karya sastra menurut ragamnya dibedakan atas prosa, puisi, dan drama. Karya sastra  prosa ada yang menyebut dengan fiksi atau ceritera rekaan. Prosa atau fiksi adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh palaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita (Aminuddin, 2002:66). Sedangkan M. Saleh Saad dan Anton M. Muliono (dalam Tjahyono, 1988:106) mengemukakan pengertian prosa fiksi adalah bentuk cerita atau prosa kisahan yang mempunyai pemeran, lakuan, peristiwa, dan alur yang dihasilkan oleh daya imajinasi. Pengertian lain dikemukakan oleh Sudjiman, (1984:17) yang menyebut fiksi ini dengan istilah ceritera rekaan, yaitu kisahan yang mempunyai tokoh, lakuan, dan alur yang dihasilkan oleh daya khayal atau imajinasi, dalam ragam prosa. Logika dalam prosa fiksi adalah logika imajnatif, sedangkan logika dalam nonfiksi adalah logika faktual.
Prosa fiksi dapat dibedakan atas cerita pendek dan novel. Ada juga yang memilahnya menjadi tiga, selain cerpen, dan novel, tersebut juga ada  istilah roman.  Abrams, (1981:119), mengatakan bahwa, istilah novel sekarang digunakan dalam variasi tulisan yang luas dan dianggap sebagai karya yang diperluas dari prosa fiksi. Sebagai hasil dari perluasan narasi, novel berbeda dengan cerita pendek dan novelette. Ukurannya menjadikan variasi karakter yang lebih besar, komplikasi plot yang lebih luas, dan cakupan yang lebih luas, dan menjelaskan lebih kuat tentang karakter dibandingkan karya yang diperpendek (cerpen & novelette). Sebagai sebuah prosa narasi, novel dibedakan dari narasi panjang, bait-bait panjang dari Chauser, Spencer, dan Milton yang memulainya diabad ke 18, dan sampai sekarang semakin berkembang.  Dalam batasan-batasan ini, novel termasuk sesuatu yang berbeda dari karya-karya: Richardson (Pamela) dan Sterne (Tristram Shandy); Dicken (Pickwick Papers) dan Hendri James (The Wings of The Dove); Tolstoy (War and Peace) dan Kafka (The Trial); Hamingway (The Sun Also Rises) dan Joice (Ulysses); C.P. Snow (Strangers and Brother ) dan Nabokov (Ada or Ardor).
Lebih lanjut, Abrams (1981:119) menjelaskan, istilah novel di Eropa dikenal sebagai ‘roman’ yang berasal dari roman abad pertengahan. Sedangkan dalam bahasa Inggris novel berasal dari bahasa Italia (Novella) yang artinya ‘sesuatu hal kecil yang baru’. Yang merupakan kisah pendek dalam prosa. Diabad ke 14, mengumpulkan roman-roman telah menjadi sesuatu yang popular. Beberapa diantaranya merupakan novel yang serius dan sebagian lagi yang merupakan sekandal. Sekarang istilah novel (Novelle dalam bahasa Jerman) sering digunakan sebagai padanan dari novelette (novel dengan panjang yang sedang) seperti Joseph Conrad (Heart of Darkness) atau Thomas Mann (Death in Venice).
Dalam makalah ini akan dibahas secara rinci tentang karya sastra yang berbentuk cerpen, novel, dan roman serta pengajarannya.

Perbedaan Cerpen, Novel, dan Roman

Berbagai dasar teori telah digunakan oleh para pengamat dan peneliti sastra untuk membedakan antara cerpen, novel, dan roman.    Nurgiantoro (2000:10) mengutip Edgar Alan Poe yang mengatakan bahwa cerpen merupakan prosa fiksi yang dibaca selesai sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah jam sampai dua jam, yang agak sulit jika dilakukan untuk sebuah novel. Sudjiman (1984:14) mengemukakan bahwa ceritera pendek adalah kisahan pendek (kurang dari 10.000 kata) yang memberikan kesan tunggal dominan.
Plot cerpen biasanya tungggal, hanya terdiri dari satu urutan peristiwa, dan urutan peristiwa biasa terjadi dari mana saja. Kalaupun ada perkenalan tokoh dan latar, tidak berkepanjangan. Karena plot tunggal, konflik dan klimak pun biasanya bersifat tunggal pula. Tema dalam cerita pendek biasanya hanya berisi satu tema. Hal itu berkaitan dengan keadaan plot yang juga tunggal dan pelaku yang terbatas. Sebaliknya, novel dapat saja menawarkan lebih dari satu tema, yaitu satu tema utama dan tema-tema tambahan. Penokohan cerpen hanya terbatas, apalagi yang bersetatus tokoh utama. Tokoh cerpen terbatas baik jumlah maupun data-data tokoh, misalnya terkait dengan perwatakan. Dengan demikian pembaca harus menyimpulkan dan menerka sendiri perwatakan lengkap yang muncul dalam cerpen. Pelukisan latar cerpen tidak memerlukan detil khusus tentang keadaan luar, misalnya tentang tempat dan sosial. Cerpen hanya memerlukan pelukisan secara garis besar saja atau bahkan secara implisit asal telah mampu memberikan suasana tertentu yang dimaksudkan (Nurgianytoro, 2000:13). Setiap rangkaian peristiwa dalam cerpen mendukung tema utama, karena semua unsur pembentuk cerpen harus saling berkaitan. Pencapaian kepaduan cerpen lebih mudah dicapai. Dalam novel agak sulit karena biasanya novel terbagi atas bab yang masing-masing berisi cerita yang berbeda.
Adapun perbedaan antara novel dan cerpen adalah sebagai berikut:
  1. Dalam novel terjadi konflik batin, sedangkan dalam cerpen tidak harus terjadi.
  2. Dalam novel, perwatakan digambarkan secara detail, sedangkan dalam cerpen, perwatakan digambarkan secara singkat
  3. Novel memiliki alur lebih rumit, sedangkan dalam cerpen, akhir ceritanya sederhana.
  4. Dalam novel, latar lebih luas dan waktunya lebih lama, sedangkan dalam cerpen, latar hanya sebentar dan terbatas.
  5. Novel lebih panjang karangannya daripada cerpen, sedangkan cerpen lebih pendek karangannya.
  6. Unsur-unsur cerita dalam novel lebih kompleks dan beragam dibandingkan cerpen, sedangkan unsur cerita dalam cerpen relatif sederhana dan pasti tunggal
  7. Novel biasanya ditulis dalam minimal 100 halaman kuarto, sedangkan cerpen biasanya ditulis maksimal 30 halaman kuarto.
  8. Jumlah kata dalam novel minimal 35.000 kata, sedangkan jumlah kata dalam cerpen maksimal 10.000 kata.
  9. Lama untuk membaca novel kira-kira 30-90 menit, sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk membaca cerpen hanya 10 menit (bacaan sekali duduk).
Perbedaan antara cerpen dan novel sudah jelas dari uraian di atas, tetapi yang menjadi pertanyaan apakah yang menjadi perbedaan antara roman dengan novel dan cerpen. Cerpen secara garis besar adalah sebuah cerita yang menceritakan sebuah peristiwa dalam hidup seseorang. Novel secara garis besar adalah sebuah cerita yang menceritakan sebagian kecil kisah kisah hidup seseorang. Sedangkan yang terakhir, roman, adalah sebuah cerita yang menceritakan tentang sebagian besar kisah hidup seseorang dan bentuk yang terbaik adalah yang menceritakan kisah hidup seseorang dari ia kecil sampai meninggal.
Berdasarkan kategori ini sebenarnya banyak juga novel yang dapat masuk dalam klasifikasi roman, akan tetapi orang kebanyakan seolah-olah terpaku bahwa roman adalah kisah yang ditulis oleh Anggatan Pujangga Baru dan angkatan-angkatan sebelumnya.
Tabel berikut ini menjelaskan perbedaan antara roman, novel, dan cerpen.
No
Unsur
Roman
Novel
Cerpen
1
Alur
Kompleks
Kompleks
Sederhana
2
Konflik
Mengubah nasib tokoh secara tragis
Mengubah nasib tokoh
Tidak mengubah nasib tokoh
3
Panjang cerita
Menceritakan kehidupan tokoh secara mendetail sejak lahir sampai dewasa atau meninggal dunia
Menceritakan sebagian besar kehidupan tokoh
Menceritakan kehidupan tokoh yang dianggap penting
4
Penokohan
Karakter tokoh disampaikan secara lebih mendetail
Karakter tokoh disampaikan secara mendetail.
Karakter tokoh tidak mendetail.

Untuk lebih jelasnya gambaran perbedaan ketiga jenis prosa fiksi (cerpen, novel, dan roman) berikut ini akan dijelaskan satu persatu.
A.    Cerirta Pendek (Cerpen)
Adapun cerpen mengalami perkembangan yang sangat pesat ketika masa penjajahan Jepang. Pada masa itu segala sesuatu dituntut serba singkat dan cepat. Karena pengaruh suasana, maka dalam mengutarakan perasaannya pengarang juga mengikuti keadaan. Pengarang mengutarakan segala sesuatu secara singkat dan memilih medianya yaitu bentuk cerpen.
Cerpen singkatan dari cerita pendek. Oleh karena itu bentuknya yang pendek, maka yang ditampilkan oleh cerpen hanyalah sebagian saja dari kehidupan yang dialami oleh tokoh cerita.
Sebuah cerpen pada dasarnya menuntut adanya perwatakan yang jelas. Tokoh merupakan pusat sorotan dalam cerita. Unsur penokohan dalam cerpen terasa lebih dominan, daripada unsur yang lain. Dengan membaca cerpen seorang pembaca akan memahami karakter tokoh cerita yang dimiliki. Jadi, membaca cerpen tidak sekedar mengetahui jalan cerita tetapi mengetahui manusia dengan sifat-sifatnya.
Suatu hasil sastra dapat dikategorikan ke dalam cerita pendek harus dilihat dari ruang lingkup permasalahan yang ditampilkan dalam karya sastra tersebut. Biasanya cerpen hanya akan menampilkan satu pokok permasalahan saja dalam cerita. Karena permasalahan yang ditampilkan hanya satu atau permasalahannya tunggal, maka tidak memungkinkan tumbuhnya digresi dalam cerita pendek. Cerpen yaitu kisahan yang memberi kesan tunggal yang dominan tentang suatu tokoh dalam latar dan satu situasi dramatik.
Predikat pendek pada kata cerita pendek bukan ditentukan oleh banyaknya halaman untuk mewujudkan cerita itu atau sedikitnya tokoh yang terdapat dalam cerita itu, melainkan lebih disebabkan oleh ruang lingkup permasalahan yang ingin disampaikan oleh bentuk karya sastra tersebut. Jadi, sebuah cerita pendek belum tentu dapat digolongkan ke dalam jenis cerita pendek apabila tidak memenuhi ruang lingkup permasalahan yang dituntut oleh cerita pendek.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa cerpen hanya menceritakan permasalahan tunggal. Mengenai jumlah halaman tidak akan berpengaruh banyak terhadap jenis karya sastra ini. Cerita yang pendek belum tentu cerita pendek dan cerita agak panjang pun kadang-kadang dapat dikategorikan sebagai cerpen jika permasalahannya tunggal. Oleh karena permasalahannya tunggal, maka cerpen cenderung pendek.
Kembali kepada persoalan yang pertama, yaitu Cerpen adalah cerita yang ditulis pendek. Tetapi seberapa pendeknya? Bukankah panjang atau pendek itu relatif? Karena itu lalu dibuat patokan yang sudah umum berlaku. Sebagai patokan atau pedoman umum, cerpen terdiri dari 2000 kata sampai dengan 10.000 kata. Berdasarkan jumlah kata cerpen dapat digolongankan dalam tiga kelompok, sebagai berikuta:
1.Cerita Pendek (short story)
2.Cerita pendek yang pendek (short, short story)
3.Cerita pendek yang sangat pendek (very short-short story)
Cerpen yang termasuk golongan pertama (short story) adalah cerpen yang ditulis sampai dengan 10.000 kata bisa disebut dengan cerpan(cerita pendek yang panjang). Jenis cerpen ini bisa dikembangkan menjadi novelette atau novel pendek. Karya-karya cerpen para sastrawan Eropa, Amerika Latin dan AS tahun 1940 – 1960-an pada umumnya ditulis begitu panjang dan layak disebut cerpan.
Cerpen yang ideal adalah adalah cerpen terdiri dari 3.000 sampai 4.000 kata, yang termasuk golongan kedua, yaitu cerpen yang pendek (short, short story). Cerpen golongan ini, bahasa dan isinya mudah dipahami. Dengan demikian, cerpen tersebut dapat di baca kurang dari satu jam dan isinya tidak terlupakan oleh pembacanya sepanjang waktu.
Cerpen golongan ketiga merupakan Cerpen yang pendek hanya terdiri dari 750 sampai dengan 1000 kata. Cerpen jenis ini biasanya disebut cerita mini yang lazim disingkat cermin. Di Dunia Barat cermin disebut flash – yang artinya sekilas atau sekelebatan membacanya. Jenis ini tergolong dalam very short-short story.
Berdasarkan fokus penulisannya cerpen terbagi atas dua tipe, yaitu cerpen yang ditulis dengan sempurna disebut well made short-story dan cerpen yang ditulis tidak utuh disebut slice of life short-story. Tipe pertama adalah cerpen yang ditulis secara fokus yaitu: satu tema dengan plot yang sangat jelas dan ending yang mudah dipahami. Cerpen tersebut pada umunya bersifat kovensional dan berdasar pada realitas /fakta. Maka cerpen tipe ini biasanya enak dibaca dan mudah dipahami. Pembaca awam dapat membaca cerpen jenis ini kurang dari satu jam.
Sebaliknya, cerpen tipe kedua, yaitu slice of life short-story, tidak terfokus temanya, memencar, sehingga plot tidak terstruktur. Plot(alur) ceritanya kadang dibuat mengambang oleh pengarang.nya. Pada umumnya,cerpen jenis ini ditulis dengan gaya kontemporer dan bersumber dari ide atau gagasan murni, maka disebut juga dengan cerpen gagasan. Dengan demikian, cerpen tipe ini seringkali sulit dipahami sehingga perlu dibaca berulang-ulang.Pembaca karya seperti itu adalah kalangan tertentu yang memang paham akan karya-karya sastra.
B. Novel
Dari sekian banyak bentuk sastra seperti esei, puisi, novel, cerita pendek, drama, bentuk novel dan cerita pendeklah yang paling banyak dibaca oleh para pembaca. Karya– karya modern klasik dalam kesusasteraan, kebanyakan juga berisi karya– karya novel.
Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling popular di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak beredar, lantaran daya komunikasinya yang luas pada masyarakat. Sebagai bahan bacaan, novel dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu karya serius dan karya hiburan. Pendapat demikian memang benar tapi juga ada kelanjutannya. Yakni bahwa tidak semua yang mampu memberikan hiburan bisa disebut sebagai karya sastra serius. Sebuah novel serius bukan saja dituntut agar dia merupakan karya yang indah, menarik dan dengan demikian juga memberikan hiburan pada kita. Tetapi ia juga dituntut lebih dari itu. Novel adalah novel syarat utamanya adalah bawa ia mesti menarik, menghibur dan mendatangkan rasa puas setelah orang habis membacanya.
Novel yang baik dibaca untuk penyempurnaan diri. Novel yang baik adalah novel yang isinya dapat memanusiakan para pembacanya. Sebaliknya novel hiburan hanya dibaca untuk kepentingan santai belaka. Yang penting memberikan keasyikan pada pembacanya untuk menyelesaikannya. Tradisi novel hiburan terikat dengan pola – pola. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa novel serius punya fungsi sosial, sedang novel hiburan cuma berfungsi personal. Novel berfungsi sosial lantaran novel yang baik ikut membina orang tua masyarakat menjadi manusia. Sedang novel hiburan tidak memperdulikan apakah cerita yang dihidangkan tidak membina manusia atau tidak dapat memanusiakan penikmatnya, yang penting adalah bahwa novel memikat dan orang mau cepat–cepat membacanya.
Istilah tentang novel antara negara satu dengan negara lain beragam. Dalam bahasa Jerman disebut Novelle. Sedangkan dalam bahasa perancis disebut Nouvelle. Kedua istilah tersebut dipakai dalam pengertian yang sama yaitu prosa yang agak panjang dan sederhana karena hanya menceritakan maksud kejadian yang memunculkan suatu konflik yang mengakibatkan adanya perubahan nasib pelakunya.
Novel berasa dari kata novella (Italia) yang secara harfiah berarti ”sebuah barang baru yang kecil”. Novel pengertian menurut Sudjiman (1998:53) prosa rekaan yang panjang, yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun. Plot novel, karena tidak keterkaitan dengan panjangnyua tulisan, umumnya memiliki lebih dari satu plot. Plot novel biasanya terdiri plot utama dan subplot. Tema dalam novel tidak menutup kemungkinan terdiri atas lebih dari satu tema, yaitu tema utama dan tema-tema tambahan. Tokoh-tokoh dalam novel biasanya diceriterakan lebih lengkap, misalnya ciri-ciri fisik, keadaan social, tingkah laku, sifat dan kebiasaan. Pelukisan latar dalam novel, umumnya lebih rinci, sehingga dapat menggambarkan latar lebih jelas, konkret dan pasti.
Menurut, Abrams (1981:121), novel bisa mempunyai jenis bentuk plot apapun – bersifat tragis, lucu, sindiran, ataupun romantik. Suatu perbedaan khas yang diperkenalkan oleh Hawthorne (misalnya, dalam kata pengantar Rumah dengan Tujuh Dinding Gable (NB Gable = dinding muka yang berbentuk segitiga terletak diantara ujung atap) dan sudah diadopsi dan diekspansi oleh sejumlah pengkritik terkini – adalah antara dua tipe fiksi prosa dasar: yaitu novel yang tepat disebut “romans”. Novel dikarakterisasikan sebagai usaha fiksi untuk memberi efek Realisme, dengan merepresentasikan tokoh-tokoh kompleks dengan campuran motif-motif yang berakar dalam suatu kelas sosial, beroperasi dalam struktur sosial yang berkembang dengan baik, berinteraksi dengan banyak tokoh lainnya, dan mengalami bentuk-bentuk pengalaman sehari-hari dan masuk akal. Romantika prosa sebagai leluhur-leluhurnya Roman  Ksatria di Abad-abad pertengahan dan Novel Gothic dari abad kedelapan belas belakangan. Secara tipikal menyebarkan tokoh-tokoh yang disederhanakan, lebih besar dari kehidupan, yang secara tajam terdiskriminasi sebagai para pahlawan dan penjahat-penjahat, tuan dan korban; yang protagonist kerap terpencil dan terisolasi dari konteks sosial; plot menekankan petualangan, dan kerap dituangkan dalam bentuk pencarian demi suatu keidealan, atau pengejaran musuh; dan peristiwa-peristiwa yang berdrama-sedih kadang-secara sesaat kadang diklaim untuk berproyeksi dalam bentuk simbolik, yaitu keinginan-keinginan terpenting, harapan-harapan, dan teror-teror dalam kedalaman pikiran manusia, dan kemudian berkeadaan sama untuk bahan-bahan seperti mimpi, mitos, ritual dan dongeng-dongeng. Contoh-contoh dari novel-novel roman (karena berbeda-khas dari novel-novel realistis-nya Jane Austin, George Elliot, atau Henry James) adalah Rob Roy-nya Walter Scott, Three Muskeeter (Tiga Pemakai Topeng)-nya Alexander Dumas, Wuthering Heights-nya Emily Dickinson, dan aliran utama fiksi Amerika, dari Poe Cooper, Hawthorne, Melville dan Mark Train hingga William Faulkner dan Saul Bellow. Lihat Richard Chase, Novel Amerika dan Tradisinya (1957); Northrop Frye, “Mitos-mitos Musim Panas: Roman,” dalam Anatomi Kritik (1957); dan essay-essay tentang roman dalam  Hal-hal Kepastoran dan Roman, Elanor T Lincoln (1969).
Beberapa pendapat mengenai novel dikemukakan oleh para ahli sastra. Namun sampai saat ini belum ada patokan yang dapat diterima oleh semua pihak. Novel dalam arti umum berarti cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas yaitu cerita dengan plot dan tema yang kompleks, karakter yang banyak dan setting cerita yang beragam. Novel merenungkan dan melukiskan realitas yang dilihat, dirasakan dalam bentuk tertentu dengan pengaruh tertentu atau ikatan yang dihubungkan dengan tercapainya gerak-gerik hasrat manusia.
Novel memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
  1. Menceritakan sebagian kehidupan yang luar biasa
  2. Terjadinya konflik hingga menimbulkan perubahan nasib
  3. Terdapat beberapa alur atau jalan cerita
  4. Terdapat beberapa insiden yang mempengaruhi jalan cerita
  5. Perwatakan atau penokohan dilukiskan secara mendalam
Novel ialah suatu cerita dengan alur panjang mengisi satu buku atau lebih, yang mengarang kehidupan manusia, yang bersifat imajinatif, menceritakan kehidupan manusia hingga terjadinya konflik yang dapat menyebabkan perubahan nasib bagi para pelakunya.
Manfaat dari membaca novel adalah memberi kesadaran kepada pembaca tentang kebenaran-kebenaran hidup ini. Selain itu dapat memberikan kegembiraan dan kepuasan batin, memberikan penghayatan yang mendalam terhadap apa yang kita ketahui, serta dapat menolong pembacanya menjadi manusia yang berbudaya. Hasil cipta sastra akan selalu berbicara masalah manusia dengan segala permasalahan hidupnya, baik hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungannya maupun manusia dengan penciptanya.
Hasil karya sastra novel mengandung keindahan yang dapat menimbulkan rasa senang, nikmat, terharu, menarik perhatian, menyegarkan perasaan pembaca, pengalaman jiwa yang terdapat dalam karya sastra memperkaya kehidupan batin manusia khususnya pembaca. 
C.     Roman

Pernahkah anda membaca roman? Kisah-kisah legendaris Siti Nurbaya, Sengsara Membawa Nikmat, Layar Terkembang, Salah Asuhan, Katak Ingin Menjadi Lembu, Anak Perawan Di Sarang Penyamun, Jeumpa Aceh, Atheis, Hulubalang Raja, Di Bawah lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk dan masih banyak lagi yang lain.
Seperti telah diungkapkan sebelumnya, roman adalah sebuah cerita yang menceritakan tentang sebagian besar kisah hidup seseorang dan bentuk yang terbaik adalah yang menceritakan kisah hidup seseorang dari ia kecil sampai meninggal. Berdasarkan kategori ini sebenarnya banyak juga novel yang dapat masuk dalam klasifikasi roman, akan tetapi orang kebanyakan seolah-olah terpaku bahwa roman adalah kisah yang ditulis oleh Anggatan Pujangga Baru dan angkatan-angkatan sebelumnya.  Istilah novel di Eropa dikenal sebagai ‘roman’ yang berasal dari roman abad pertengahan. Sedangkan dalam bahasa Inggris novel berasal dari bahasa Italia (Novella) yang artinya ‘sesuatu hal kecil yang baru’. Yang merupakan kisah pendek dalam prosa. Diabad ke 14, mengumpulkan roman-roman telah menjadi sesuatu yang popular. Beberapa diantaranya merupakan novel yang serius dan sebagian lagi yang merupakan sekandal. Sekarang istilah novel (Novelle dalam bahasa Jerman) sering digunakan sebagai padanan dari novelette (novel dengan panjang yang sedang) seperti Joseph Conrad (Heart of Darkness) atau Thomas Mann (Death in Venice). (Abrams, 1981:119).
Tidak bisa dipungkiri bahwa pada masa awal perkembangan sastra Indonesia khususnya di bidang prosa fiksi roman merupakan jenis karya sastra yang sangat maju pada masa itu (Angkatan Balai Pustaka Dan Angkatan Pujangga Baru).  Namun, saat ini roman sudah hampir punah dari dunia sastra Indonesia, padahal Roman adalah salah satu bentuk sastra yang terbaik sepanjang sejarah Indonesia. Dalam roman para penulisnya meniupkan ruh perjuangan bangsa Indonesia pada masa penjajahan Belanda, walaupun dengan bentuk yang samar-samar. Selain itu, melalui roman pula para penulis telah berusaha untuk membuka mata bangsa Indonesia untuk memandang cakrawala kehidupan yang lebih luas, sehingga bangsa Indonesia menyadari bahwa bangsa ini tidak saja terbelenggu oleh penjajah tetapi juga terbelenggu oleh salah kaprah tentang adat-istiadat. Masalah ini, diakibatkan oleh pendidikan bangsa Indonesia yang terlalu rendah pada masa itu.    
Unsur Unsur Prosa Fiksi

Untuk dapat mengapresiasi karya prosa fiksi dengan baik, diperlukan pengetahuan
dan pemahaman tentang unsur-unsur pembangunan karya prosa. Seperti jenis-jenis
karya sastra lainnya, prosa fiksi, baik itu cerpen, novel, maupun roman
dibangun oleh unsur-unsur ekstrinsik dan intrinsik. Berikut ini akan diuraikan kedua unsur ini (Ekstrinsik dan instrinsik) secara secara lebih rinci.

A. Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar teks prosa fiksi, namun secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi penciptaan prosa fiksi tersebut. Unsur yang dimaksud, di antaranya latar belakang penciptaan, biografi pengarang, situasi dan kondisi sosial, sejarah, dan lain-lain. Unsur- unsur ini mempengaruhi karena pada dasarnya pengarang mencipta karya sastra berdasarkan pengalamannya. Pengetahuan seorang pembaca terhadap unsur-unsur ekstrinsik akan membantu pembaca memahami karya itu. Selain itu, perhatian dan pemahaman terhadap unsur – unsur ekstrinsik ini juga akan membantu keakuratan penafsiran isi suatu karya sastra dalam hal ini prosa fiksi (cerpen, novel, dan roman).

B. Unsur Intrinsik

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang hadir di dalam teks dan secara
langsung membangun teks itu, dalam hal ini cerita yang terungkap dalam karya prosa fiksi tersebut. Unsur-unsur intrinsik karya prosa-fiksi adalah sebagai berikut.

1) Tokoh dan Penokohan
Di dalam mengkaji unsur-unsur ini ada beberapa istilah yang mesti dipahami,
yakni istilah tokoh, watak/karakter, dan penokohan. Tokoh adalah pelaku cerita. Tokoh ini tidak selalu berwujud manusia, tergantung pada siapa yang diceritakannya itu dalam cerita. Watak/karakter adalah sifat dan sikap para tokoh tersebut. Adapun penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh-tokoh dan watak-wataknya itu dalam cerita.
Dalam melakukan penokohan (menampilkan tokoh-tokoh dan watak tokoh
dalam suatu cerita), ada beberapa cara yang dilakukan pengarang, antara lain:
a)    Penggambaran fisik.
Pada teknik ini, pengarang menggambarkan keadaan
fisik tokoh itu, misalnya wajahnya, bentuk tubuhnya, cara berpakaiannya, cara
berjalannya, dan lain-lain. Dari penggambaran itu, pembaca bisa menafsirkan
watak tokoh tersebut.
b)   D i a l o g.
Pengarang menggambarkan tokoh lewat percakapan tokoh tersebut
dengan tokoh lain. Bahasa, isi pembicaraan, dan hal lainnya yang
dipercakapkan tokoh tersebut menunjukan watak tokoh tersebut.
c)    Penggambaran pikiran dan perasaan tokoh.
Dalam karya fiksi, sering ditemukan penggambaran tentang apa yang dipikirkan dan dirasakan tokoh. Penggambaran ini merupakan teknik yang juga digunakan pengarang untuk menunjukan watak tokoh.
d)   Reaksi tokoh lain.
Pada teknik ini pengarang menggambarkan watak tokoh lewat apa yang diucapkan tokoh lain tentang tokoh tesebut.
e)    Narasi.
Melalui teknik narasi ini, pengarang (narator) yang langsung mengungkapkan watak tokoh itu.  
Semua teknik-teknik yang dilakukan penulis dalam menggambarkan tokoh, penokohan, dan watak tokoh seperti yang telah diuraikan  di atas, mungkin  tidak langsung semua digunakan pengarang dalam suatu cerita. Pengarang akan memilih sesuai dengan situasi cerita dan kebutuhannya. Bagi pembaca, pengetahuan dan pemahaman tentang teknik-teknik di
atas dapat membantunya memudahkan menemukan watak-watak tokoh cerita.
Berdasarkan peran tokoh dan perkembangan watak tokoh, tokoh dapat dibedakan sebagai berikut:
a)    Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
Dilihat dari segi tingkat pentingnya (peran) tokoh dalam cerita, tokoh dapat dibedakan atas tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus menerus sehingga terasa mendominasi sebagai besar cerita. Tokoh utama berperan utama menggabarkan atau mendukung tema. Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya dimunculkan sekali-kali (beberapa kali) dalam cerita dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. Tokoh tambahan berperan mendukung tokoh utama dalam menggambarkan tema.
b)   Tokoh Prontagonis dan Antagonis
Dilihat dari fungsi penampilan tokoh dalam cerita, tokoh dibedakan ke dalam
tokoh prontagonis dan antagonis. Tokoh prontagonis adalah tokoh yang mendapat
empati pembaca. Sementara tokoh antagonis adalah tokoh yang menyebabkan terjadinya konflik.
c)    Tokoh Statis dan Tokoh Dinamis
Dari kriteria berkembang/tidaknya perwatakan, tokoh cerita dapat dibedakan
ke dalam tokoh statis dan tokoh dinamis. Tokoh statis adalah tokoh yang memiliki
sifat dan watak yang tetap, tak berkembang sejak awal hingga akhir cerita. Sedangkan, tokoh dinamis adalah tokoh yang mengalami perkembangan watak sejalan dengan
plot yang diceritakan.

2) Alur dan Pengaluran
Selama ini sering terjadi kesalahpahaman dalam mendefinisikan alur. Alur
dianggap sama dengan jalan cerita. Pendefinisian itu sebenarnya tidak tepat. Jalan
cerita adalah peristiwa demi peristiwa yang terjadi susul menyusul. Sedangkan alur
adalah rangkaian peristiwa yang saling berkaitan karena hubungan sebab akibat.
Untuk dapat membedakannya, marilah kita amati contoh berikut.

a) Pukul 04.00 pagi Ani bangun. Ia segera membereskan tempat tidur. Setelah itu
ia ke kamar mandi untuk mandi dan berwudhu. Selesai mandi dan berwudhu,
ia berdandan dan lalu sholat. Kemudian ia membaca buku sebentar, sarapan,
lalu berangkat sekolah.

b) Pukul 04.00 pagi Ani bangun. Tak biasanya ia bangun sepagi ini. Semalam
pun ia susah tidur. Pertengkarannya dengan Wendi kekasihnya di sekolah terus
membayanginya. Ia sangat sedih dan kecewa karena Wendi telah menghianati
kesetiaan hatinya. Tetapi ia mencoba menepis bayangan-bayangan itu. Ia pun
segera mandi, berdandan, sarapan, dan berangkat ke sekolah. Namun, di jalan
 ia tidak konsentrasi. Ketika ia menyeberang jalan, sebuah motor membuat
tubuhnya terpental.

Contoh pertama adalah jalan cerita karena hanya menyajikan rangkaian
peristiwa saja. Contoh kedua adalah alur karena menyajikan rangkaian peristiwa yang
terjadi karena hubungan sebab akibat. Ani bangun lebih pagi disebabkan oleh
kesulitannya tidur akibat peretngkaran dengan kekasihnya yang menghianantinya. Hal
ini pun menyababkan Ani tidak konsentrasi berjalan di jalan raya ketika berangkat
sekolah sehingga ia tertabrak.
Cara menganalisis alur bukan saja dengan mencari dan mengurutkan peristiwa
demi peristiwa yang memiliki hubungan kausalitas saja. Tetapi pengaluran adalah urutan teks. Dengan menganalisis urutan teks ini, pembaca akan tahu bagaimana pengarang menyajikan cerita itu, apakah dengan teknik linier (penceritaan peristiwa-peristiwa yang berjalan saat itu), teknik ingatan (flashback) atau bayangan (menceritakan kejadian yang belum terjadi).

3) Latar
Menurut Abrams (1981:175) latar adalah tempat, hubungan waktu, dan
lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Latar dalam cerita dapat diklasifikasikan menjadi :
a) Latar tempat, yaitu latar yang merupakan lokasi tempat terjadinya peristiwa cerita, baik itu nama kota, jalan, gedung, rumah, dan lain-lain.
b) Latar waktu, yaitu latar yang berhubungan dengan saat terjadinya peristiwa cerita, apakah berupa penanggalan penyebutan peristiwa sejarah, penggambaran situasi malam, pagi, siang, sore, dan lain-lain.
c) Latar sosial, yaitu keadaan yang berupa adat istiadat, budaya, nilai-nilai/norma, dan
sejenisnya yang ada di tempat peristiwa cerita.
d) Latar suasana, yaitu suasana yang terjadi pada saat cerita berlangsung, seperti mendung, hujan, panas terik, musim salju, gelap, terang. Latar suasana ini dapat juga menggambarkan suasana hati, misalnya riang-gembira, muram, dan lain-lain.  

4) Gaya Bahasa (Stile)
Dalam menyampaikan cerita, setiap pengarang ingin ceritanya punya daya
sentuh dan efek yang kuat bagi pembaca. Oleh karena sarana karya prosa adalah
bahasa, maka bahasa ini akan diolah semaksimal mungkin oleh pengarang dengan
memaksimalkan gaya bahasa sebaik mungkin. Gaya bahasa (stile) adalah cara
mengungkapkan bahasa seorang pengarang untuk mencapai efek estetis dan kekuatan
daya ungkap.
Untuk mencapai hal tersebut pengarang memberdayakan unsur-unsur stile tersebut, yaitu dengan diksi (pemilihan kata), pencitraan (penggambaran sesuatu yang
seolah-olah dapat diindra pembaca), majas, dan gaya retoris. Maksud dari unsur-unsur
stile tersebut adalah sebagai berikut.
a)    Diksi
Dalam penggunaan unsur diksi, pengarang melakukan pemilihan kata
(diksi). Kata-kata betul-betul dipilih agar sesuai dengan apa yang ingin
diungkapkan dan ekspresi yang ingin dihasilkan. Kata-kata yang dipilih bisa
dari kosakata sehari-hari atau formal, dari bahasa Indonesia atau bahasa lain
(bahasa daerah, bahasa asing, dan lain-lain), bermakna denotasi (memiliki arti
lugas, sebenarnya, atau arti kamus) atau konotasi (memiliki arti tambahan,
yakni arti yang ditimbulkan oleh asosiasi-asosiasi (gambaran, ingatan, dari
perasaan) dari kata tersebut .
b)   Citra/imaji.
Citra/imaji adalah kata atau susunan kata-kata yang dapat memperjelas atau memperkonkret apa yang dinyatakan pengarang sehingga apa yang digambarkan itu dapat ditangkap oleh pancaindera kita. Melalui pencitraan/pengimajian apa yang digambarkan seolah-olah dapat dilihat (citraan penglihatan) didengar (citraan pendengaran), dicium ( citraan penciuman), dirasa (citraan taktil), diraba (citraan perabaan), dicecap (citraan pencecap), dan lain-lain.
c)    Majas
Menurut Nugiyantoro (1995 : 277) adalah teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan dan efek yang diharapkan. Teknik pemilihan ungkapan ini dapat dilakukan dengan dua cara, yakni dengan permajasan dan gaya retois. Permajasan adalah teknik pengungkapan dengan menggunakan bahasa kias (maknanya tidak merujuk pada makna harfiah). Pemajasan terbagi menjadi 3, yaitu perbandingan/perumpamaan, pertentangan, dan pertautan. Pertama, Majas Perbandingan yang mencakup beberapa bentuk, antara lain;   Simile, yaitu perbandingan langsung dan eksplisit, dengan mempergunakan
kata-kata tugas tertentu sebagai penanda keeksplisitan: seperti, bagai,
bagaikan, laksana, mirip,dan sebagainya. Berikutnya, Metafora, yaitu  perbandingan yang bersifat tidak langsung/implisit, hubungan antara sesuatu yang dinyatakan pertama dengan kedua hanya bersifat sugesti, tidak ada kata-kata penunjuk perbandingan eksplisit. Seterusnya, personifikasi, yaitu perbandingan yang memberi kesan sifat-sifat benda mati dengan sifat seperti dimiliki manusia.
Kedua,  Majas Pertautan yang meliputi; metamoni, yaitu majas yang menunjukan pertautan/pertalian yang dekat. Misalanya seseorang suka membaca karya-karya A. Tohari, dikatakan: “ia suka membaca Tohari”. Selanjutnya, Sinekdok, yaitu majas yang  mempergunakan keseluruhan (pars pro toto) untuk menyatakan sebagian atau sebaliknya (totum pro foto) contohnya: ia tak kelihatan batang hidungnya. Berikutnya, Hiperbola, yaitu majas yang menekankan maksud dengan sengaja melebih-lebihkannya.
Ketiga,  Majas Pertentangan, yaitu mempertentangkan sesuatu hal yang biasanya disebut dengan majas Paradoks. Majas pertentangan atau paradoks ini, misalnya: ia merasa kesepian di tengah berjubelnya manusia metropolitan.
d) Gaya Retoris
Gaya Retoris adalah teknik pengungkapan yang menggunakan bahasa yang maknanya berlangsung (harfiah), tetapi diurutkan sedemikian rupa dengan menggunakan struktur, baik struktur kata maupun kalimat, untuk menimbulkan efek tertentu , misalnya dengan pengulangan, pembalikan susunan, dan lain-lain. Yang termasuk gaya retoris diuraikan di bawah ini.
1.    Repetisi adalah pengulangan kata atau kelompok kata dalam satu
kalimat/lebih, baik pada posisi awal, tengah, maupun akhir.
2.    Anafora adalah pengulangan kata/kelompok kata pada awal beberapa kalimat
3.    Pararelisme adalah pengulangan struktur bentuk dengan maksud menekankan adanya kesejajaran bangunan struktur yang menduduki posisi sama dan mendukung gagasan yang sederajat. Hal ini dapat dilakukan dengan penyusunan jenis kata yang sama, penggunaan pola-pola kalimat yang sama, dan lain-lain.
4.    Polisindeson adalah pengulangan kata tugas tertentu, yaitu kata dan
2.    Asindeton adalah pengulangan bentuk pungtuasi, yaitu tanda koma (,) yang terdapat pada gagasan yang sederajat.
3.    Klimaks adalah urutan penyampaian yang menunjukkan semakin tinggi kadar pentingnya.
4.    Anti klimaks adalah urutan penyampaian yang merupakan kebalikan dari klimaks, yaitu semakin mengendur kadar pentingnya.

5) Penceritaan
Penceritaan, atau sering disebut juga sudut pandang (point of view), yakni
dilihat dari sudut mana pengarang (narator) bercerita, terbagi menjadi 2, yaitu
pencerita intern dan pencerita ekstern.
Pencerita intern adalah penceritaan yang hadir di dalam teks sebagai tokoh.
Cirinya adalah dengan memakai kata ganti aku.
Pencerita ekstern bersifat sebaliknya, ia tidak hadir dalam teks (berada di luar
teks) dan menyebut tokoh-tokoh dengan kata ganti orang ketiga atau menyebut nama.

6) Tema
Tema adalah ide/gagasan yang ingin disampaikan pengarang dalam ceritanya.
Tema ini akan diketahui setelah seluruh unsur prosa-fiksi itu dikaji.
Dalam nenerapkan unsur-unsur tersebut pada saat mengapresiasi karya prosa,
seorang pengapresiasi tentu saja tidak sekedar menganalisis dan memecahnya per
bagian. Tetapi, setiap unsur itu harus dilihat kepaduannya dengan unsur lain. Apakah
unsur itu saling mendukung dan memperkuat, dalam menyampaikan tema cerita, atau sebaliknya.

Pengajaran dan Pembelajaran Apresiasi Prosa Fiksi
 Kesusastraan adalah bidang yang termasuk ruang lingkup pembelajaran Bahasa Indonesia di samping kebahasaan. Materi yang tercakup dalam kesusastraan
adalah puisi, prosa, dan drama. Pembelajaran sastra terintegrasi dalam empat keterampilan berbahasa (mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis). Keterintegrasian materi sastra dalam empat keterampilan berbahasa tersebut tujuannya tiada lain adalah agar para siswa memperoleh dan memiliki pengalaman berapresiasi sastra secara langsung. Dengan pengalaman berapresiasi dan menggauli cipta sastra tersebut secara langsung diharapkan tumbuh pemahaman, penghayatan, penikmatan, dan penghargaan siswa terhadap cipta sastra. Dengan berapresiasi sastra, pengetahuan dan wawasan siswa akan bertambah, kesadaran dan kepekaan perasaan, sosial, dan religinya akan terasah, dan akan timbul penghargaan dan rasa bangga terhadap sastra Indonesia sebagai khasanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Di dalam makalah ini fokus pembahasan adalah pengajaran dan pembelajaran apresiasi prosa fiksi.
Sebelum kita membahas contoh pengajaran dan pembelajaran apresiasi sastra dalam hal ini prosa fiksi sebaik kita bahas dulu manfaat apresiasi sastra, langkah-langkah apresiasi sastra, dan bentuk-bentuk apresiasi sastra.
a)    Manfaat Apresiasi Sastra
Dalam sebuah pertemuan sastra, seorang yang biasa bergelut di bidang eksak menyatakan bahwa orang yang membaca karya prosa sedang melakukan pekerjaan yang sia-sia dan tak ada artinya karena menghabiskan waktu hanya untuk membaca khayalan. Top of FormBottom of Form
Benar, karya berupa prosa-fiksi memang merupakan cerita rekaan, khayalan. Ia
adalah hasil imajinasi pengarangnya. Namun, benarkah imajinasi tak ada manfaatnya?
Tentu saja pendapat ini tidak benar sebab jika mau disadari, kehidupan dunia
berkembang karena imajinasi orang-orang jenius. Sebagai contoh, bukankah teori
gravitasi bumi ditemukan ilmuwan Issac Newton karena imajinasinya setelah melihat
buah apel jatuh dari pohonnya? Penemuan-penemuan di bidang teknologi pun pada
awalnya terjadi karena imajinasi. Dari mulai penemuan kapal terbang hingga pesawat
ulang alik, dari televisi hingga program-program komputer paling canggih saat ini,
pada awalnya terjadi karena imajinasi. Juga, bukankah lambang-lambang yang
digunakan dalam bidang matematika, angka-angka misalnya, adalah bentuk-bentuk
imajinasi?
Dengan bukti-bukti di atas, tentulah kita tak bisa menganggap remeh imajinasi.
Imajinasi sangat bermanfaat dalam kehidupan, termasuk imajinasi yang ada dalam
cerita rekaan (karya fiksi). Cerita rekaan, karena mengandung imajinasi, dapat
memperkaya imajinasi pembacanya. Kekayaan imajinasi ini akan membantu manusia
lebih cerdas dan kreatif dalam membangun kehidupan. Di samping itu, sudah menjadi
naluri/kebutuhan manusia menyukai cerita. Dalam berbagai masyarakat tradisional,
muncul cerita-cerita mythe, legenda, dan lain-lain. Orang pun bisa tahan berjam-jam
(bahkan semalam suntuk) untuk menonton pertunjukan wayang. Lalu mengapa, orang
bisa tahan membaca novel seharian sementara membaca buku-buku ilmu pengetahuan
cepat merasa jenuh?
Hal itu terjadi karena dari cerita rekaan/prosa-fiksi orang mendapat hiburan.
Tetapi, manfaat cerita prosa lebih dari itu. Ia tidak hanya menghibur, tetapi juga
berguna, atau yang diistilahkan filsuf Horace, dulce et utile.
Cerita prosa bukan hanya berfungsi sebagai sarana hiburan. Cerita prosa adalah
sarana kita untuk bercermin tentang kehidupan. Benar bahwa yang disajikan dalam
cerita prosa adalah hasil imajinasi pengarang. Akan tetapi, imajinasi tersebut adalah
hasil olahan pengarang dari apa yang dihayatinya dari realitas (kenyataan). Dalam
karya prosa, sesungguhnya pengarang menyuguhkan kembali hasil pengamatan dan
pengalamannya kepada pembaca. Pengalaman yang disuguhkannya itu adalah
pengalaman yang sudah melalui proses perenungan dan pemahaman yang lebih tajam
dan dalam. Dengan demikian, tatkala pembaca mambaca karya prosanya, ia
mendapatkan suatu pandangan baru tentang kehidupan yang memperkaya amatannya
terhadap kehidupan yang ia kenal sehari-hari. Dalam kaitan ini, karya prosa
sesungguhnya membantu pembaca untuk lebih memahami kehidupan dan
memperkaya pandangan-pandangan tentang kehidupan.
Memang, hal seperti ini bisa pula didapatkan dari bidang-bidang lain, filsafat
misalnya, tapi, karena karya prosa menyuguhkannya dalam bentuk cerita, lewat
penggambaran peristiwa-peristiwa, lewat penggambaran tokoh-tokohnya yang
bermacam-macam karakter, dan lain-lain, gambaran tentang kehidupan itu akan terasa
lebih hidup dan lebih menyentuh.
Selain itu, tidak semua hal dalam hidup ini bisa kita alami sendiri. Apa yang
tidak bisa dan tidak sempat kita alami itu dapat diperoleh melalui prosa. Tidak semua
orang tahu bagaimana kehidupan kaum gembel atau kehidupan di perkampungan-
perkampungan kumuh. Namun, melalui cerpen-cerpen Gerson Poyk atau Joni
Ariadinata misalnya, pembaca mendapat gambaran tentang kehidupan masyarakat
Kelas bawah tersebut. Atau contoh lainnya, tak semua orang, terutama generasi
sekarang, tahu tentang keadaan masyarakat Indonesia di zaman Jepang. Melalui
cerpen-cerpen karya Idrus, orang mendapat gambaran itu. Benar bahwa hal itu bisa
diperoleh melalui sejarah atau sosiologi. Tetapi, sekali lagi, dari prosa kita akan
mendapat gmbaran itu secara lebih hidup dan lebih menyentuh sebab prosa
menyuguhkannya dalam segala sisinya: perasaan-perasaannya, harapannya,
penderitaannya, dan lain-lain. Adapun sejarah atau sosiologi hanya menyajikannya
pada tingkat formal. Dengan demikian, karya prosa sesungguhnya memperkaya
wawasan dan pengetahuan pembacanya.
Media pengungkapan karya prosa adalah bahasa. Dalam menyajikan cerita
dalam karyanya, pengarang berupaya menyuguhkannya dalam bahasa yang dapat
menyentuh jiwa pembacanya. Untuk mencapai hal itu, para pengarang berupaya
mengolah bahasa dengan sabaik-baiknya dan sedalam-dalamnya agar apa yang
disampaikannya kuat mengena di hati pembaca. Mereka mencari kosakata-kosakata
yang tepat yang dapat mewakili apa yang mereka inginkan, menciptakan ungkapan-
ungkapan baru, menvariasikan struktur kalimat, memberi penggambaran-
penggambaran yang hidup dengan bahasa, dan seterusnya. Dengan membaca karya
yang telah mengandung bahasa yang terolah tersebut, pembaca diperkaya bahasanya,
diperkaya rasa bahasanya, dan sebagainya.
Tentulah masih banyak manfaat-manfaat dari membaca (mengapresiasi) karya
prosa. Intensitas kita membaca karya prosa, pada gilirannya akan mempertajam
kepekaan kita; kepekaan sosial, kepekaan religi, kepekaan budaya, dan lain-lain.
Jika membaca karya prosa mendatangkan banyak manfaat untuk kehidupan
kita, apa lagi yang kita tunggu?

b). Langkah-Langkah Apresiasi
Apresiasi sastra adalah suatu kegiatan mengakrabi karya sastra untuk
mendapatkan pemahaman, penghayatan, dan penikmatan terhadap karya itu hingga
diperoleh kekayaan wawasan dan pengetahuan, kepekaan pikir, dan rasa terhadap
berbagai segi kehidupan. Dari kegiatan tersebut akhirnya pula timbul kecintaan dan
penghargaan terhadap cipta sastra. Demikian pula dengan apresiasi karya prosa-fiksi.
Tujuan apresiasi prosa di atas akan diperoleh pembaca apabila ia melakukakan
langkah-langkah:
1) membaca karya prosa tersebut hingga ia dapat merasakan keterlibatan jiwa
dengan apa yang disampaikan dan diceritakan pengarang;
2) menilai dan melihat hubungan antara gagasan pengalaman yang ingin
disampaikan pengarang dengan kemampuan teknis penggarang itu mengolah
unsur-unsur prosa, seperti tokoh (penokohan), alur (pengaluran), latar, gaya
bahasa, penceritaan dan tema; dan
3) menemukan relevansi karya itu dengan pengalaman pribadi dan kehidupan
pada umumnya.

c). Bentuk Apresiasi
Mengapresiasi sastra, dalam hal ini karya prosa-fiksi, dapat dilakukan dengan
berbagai cara, yaitu 1) menyimak/menonton pembacaan atau dramatisasi cerpen/novel
cerita rakyat, atau bentuk lainnya seperti monolog, yang dilakukan secara langsung
atau lewat media elektronik; 2) mendengarkan dongeng, baik secara langsung,
maupun melalui rekaman; dan 3) membaca cerpen/novel/cerita rakyat secara langsung
dari teks-nya. Dari cara-cara tersebut, apresiator kemudian memberikan tanggapan
(hasil apresiasinya) yang meliputi langkah-langkah apresiasi, baik secara lisan,
maupun tulisan.
Di samping itu, agar keterlibatan dan pemahaman pembaca/apresiator dengan
karya tersebut lebih dalam, apresiator dapat mengekspresikan karya tersebut, misalnya
dengan pembacaan cerpen/novel/dongeng, dramatisasi, monolog, dramatic reading,
mendongeng, menulis kembali cerpen/novel/dongeng yang dibaca dengan karangan
sendiri, membuat cerpen/novel/dongeng, mengadaptasi cerpen/novel/dongeng
menjadi naskah drama, puisi, dan lain-lain. 
Dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Bahasa
Indonesia untuk SMP/MTs dan Sederajat, bentuk-bentuk apresiasi yang disajikan
adalah 1) mendengarkan/menyimak pembacaan cerpen/dongeng; 2) membaca
teks/buku yang berisi cerpen/novel/dongeng; 3) melakukan pembacaan
cerpen/cuplikan cerpen; 4) menuliskan kembali cerpen/novel/dongeng dengan kata-
kata sendiri; dan 5) menulis cerpen. Apresiasi melalui menyimak atau membaca,
penulis pandang cukup jelas. Oleh karena itu, yang akan dibahas adalah pembacaan
cerpen/cuplikan cerpen/dongeng dan menulis cerpen/novel/dongeng.

Apabila kita menelusuri salah satu contoh Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia untuk SMP/MTs, akan kita ketahui materi apresiasi prosa-fiksi yang terintegrasi dalam pembelajaran mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis tersebut. Materi-materi tersebut meliputi 1) jenis-jenis prosa-fiksi (baik dari khasanah sastra modern seperti cerpen, cerita anak, dan novel, termasuk novel remaja); 2) sejarah perkembangan prosa-fiksi Indonesia, khususnya Angkatan 20-30-an); 3) unsur-unsur intrinsik karya prosa-fiksi; dan 4) pengekspresian karya prosa-fiksi, seperti
pembacaan cerpen, maupun penulisan cerpen.

Setelah memahami  tentang Standar Kompetensi Mata pelajaran Bahasa Indonesia secara seksama, pembelajaran apresiasi prosa-fiksi ini sebenarnya menggunakan pendekatan terpadu. Hal ini sesuai dengan hakikat bahasa itu sendiri, yakni bahwa setiap aspek bahasa selalu digunakan secara terpadu, tidak terpisah aspek demi aspek. Hal itu dapat kita lihat dari bentuk-bentuk apresiasi prosa- fiksi yang disajikan kurikulum ini lewat empat keterampilan berbahasa, baik mendengarkan, berbicara, membaca, maupun menulis, yang masing-masing selalu terkait dengan aspek keterampilan berbahasa lainnya. Sebagai contoh, apresiasi prosa-
fiksi dalam bentuk mendengarkan pembacaan cerpen, terkait dengan aspek berbicara
berupa tanggapan yang disampaikan para siswa yang berisi penilaian terhadap
pembacaan cerpen tersebut; membaca novel terkait dengan aspek berbicara berupa
komentar tentang unsur-unsur intrinsiknya; dan lain-lain.
Meskipun demikian, yang hendaknya tidak boleh dilupakan dari pembelajaran
tersebut adalah aspek spresiasinya, yaitu bahwa pembelajaran tersebut tidak
melupakan hakikat apresiasi sastra sehingga bisa mencapai tujuan dari apresiasi sastra
itu sendiri. Tujuan dari apresiasi sastra adalah tumbuhnya pemahaman, penghayatan,
dan penikmatan terhadap cipta sastra untuk memperluas wawasan kehidupan,
mempertajam kepekaan perasaan, kepekaan dan kesadaran sosial serta religi,
memperhalus budi pekerti, serta memperkaya pengetahuan dan keterampilan
berbahasa.  
Tujuan itu dapat dicapai apabila segala aspek jiwa siswa: pikiran, perasaan,
dan imajinasinya terlibat secara penuh. Keterlibatan itu dapat terjadi apabila guru
lebih banyak melibatkan siswa untuk aktif dan kreatif dalam proses belajar-mengajar
tersebut. Selain itu, pembelajaran hendaknya diciptakan dalam suasana yang
menyenangkan. Keterlibatan akan terjadi apabila jiwa siswa siap untuk menerima
pembelajaran. Kesiapan itu terjadi apabila siswa tidak dalam kondisi terpaksa dalam
mengikuti pembelajaran tersebut. Keikutsertaan siswa benar-benar dilandasi
ketertarikan dan minatnya terhadap materi pembelajaran itu, dan merasakan
kebermaknaannya. Ketidakterpaksaan, tumbuhnya ketertarikan dan minat akan terjadi
apabila suasana pembelajaran menyenangkan.
Jika dikaitkan dengan istilah pendekatan dan strategi belajar-mengajar, strategi
pembelajaran demikian adalah Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan
Menyenangkan (PAKEM). Strategi ini dapat dikembangkan metode dan tekniknya
dengan kreativitas dari masing-masing guru.
Dalam mengembangkannya, hendaknya disadari bahwa sesuai dengan
hakikatnya dalam apresiasi sastra, aspek afeksi-lah yang hendaknya lebih
ditumbuhkan sebab dengan cara inilah tujuan apresiasi dapat tercapai.
Penumbuhan sisi afeksi ini dilakukan dengan cara melibatkan jiwa siswa
untuk merasakan perasaan-perasaan, mengalami pengalaman-pengalaman, merasakan
keindahan dari berbagai unsur sastra, yang disajikan pengarang dalam cipta sastranya.
Hal itu tidak akan tercapai apabila pembelajaran apresiasi sastra dilakukan secara
teoritik atau ditekankan pada aspek teori. Teori sebenarnya akan didapatkan siswa
secara induktif dari penemuannya selama proses apresiasi. Sastra diciptakan dari hati,
maka hendaknya disampaikan dengan hati.
Berikut ini akan disajikan contoh-contoh Penerapan Pembelajaran Apresiasi Prosa-Fiksi Dengan didasarkan pada konsep dan prinsip-prinsip pembelajaran apresiasi
sastra yang diuraikan di atas, di bawah ini penulis contohkan teknik-teknik
penerapannya.

1. Apresiasi Melalui Pembacaan Cerpen
Untuk melakukan pembelajaran ini, tahap-tahapnya dapat mengacu pada
model pembelajaran yang dikemukakan H.L.B. Moody, yang terdiri atas pelacakan
pendahuluan, penentuan sikap praktis, introduksi, penyajian, diskusi, dan
pengukuhan, sementara metode dan tekniknya bisa dikembangkan sendiri.
Pelacakan pendahuluan dan penentuan sikap praktis merupakan tahap
persiapan (perencanaan) sebelum guru melaksanakan pembelajaran di kelas. Dalam
hal ini guru memilih bahan yang akan diapresiasikan. Pemilihan bahan, dalam hal ini
karya cerpen, tentunya mengacu pada kesesuaiannya dengan siswa. Guru memutuskan
cerpen apa yang akan disajikan. Oleh karena metode penyajian serpen itu akan
dilakukan lewat pembacaan cerpen, guru hendaknya memilih cerpen yang lebih
banyak unsur dialog daripada narasi agar menarik siswa.
Pada saat pelaksanaan pembelajaran di kelas, pertama-tama tentunya guru
melakukan introduksi, yang dimulai dengan apersepsi hingga memberi pengantar
tentang pembelajaran yang dilakukan pada pertemuan tersebut. Setelah introduksi ini
jelas bagi siswa, guru membagikan teks cerpen kepada siswa.
Langkah berikutnya yang merupakan tahap penyajian, (1) guru mengajak
siswa untuk membaca cerpen tersebut dalam hati dalam beberapa menit. (2) Apabila
siswa selesai membaca, guru bertanya apakah siswa dapat menangkap/memahami
cerpen tersebut. Guru dapat menanyakan barangkali ada bagian-bagian yang sulit
dipahami siswa, baik dari segi bahasanya, maupun dari segi lainnya. (3) Guru
mengajak siswa untuk melakukan pembacaan cerpen oleh beberapa orang siswa. Guru
mengajak kelas untuk menentukan para pembaca cerpen tersebut sesuai dengan
jumlah tokoh yang ada dalam cerpen, dan menentukan siapa saja yang menjadi tokoh-
tokoh tersebut. Tidak lupa pula ditentukan naratornya. (4) Guru menjelaskan secara
singkat kepada siswa teknik pembacaan cerpen, baik dari segi vokal, gestur, maupun
mimik. (5) Guru meminta siswa yang telah ditentukan sebagai pembaca cerpen untuk
maju ke depan kelas dan membacakan cerpen sesuai dengan perannya masing-masing
dengan mengeksplorasi teknik pembacaan cerpen, baik dari segi vokal, gestur,
maupun mimik.
Setelah pembacaan cerpen selesai, guru mengajak siswa berdiskusi tentang
cerpen tersebut.. Dengan bertanya jawab, guru menanyakan
(1)
keterlibatan jiwa siswa dengan cerpen tersebut. Misalnya dengan
menanyakan kesan dan perasaan siswa tentang cerita dalam cerpen
tersebut, perasaan terhadap tokoh-tokohnya, dan lain-lain;
(2)
penilaian siswa tentang kemampuan teknis pengarang dalam mengolah unsur-unsur cerpen;
relevansi cerpen tersebut dengan kehidupan siswa pribadi, maupun
kehidupan masyarakat secara luas.
Berikutnya adalah tahap pengukuhan, yang merupakan penguatan terhadap
PBM di atas. Guru dapat memberi tugas, misalnya menyuruh siswa menuliskan
kembali keterlibatan jiwa mereka dengan cerpen tersebut. Teknik di atas dapat
dieksplorasi lagi dan divariasikan oleh para guru, misalnya teknik pembacaan
cerpennya disajikan menggunakan media pemutar audio/video (tape recorder, vcd
atau dvd player), atau seseorang yang sengaja diundang guru ke kelas sebagai yang
bisa dijadikan model. Tentang materi yang didiskusikan, guru bisa menyesuaikannya
dengan kompetensi dasar.

2. Mendengarkan Dongeng
Pembelajaran ini dapat dilakukan dengan cara, misalnya, guru mendongeng
menggunakan alat peraga. Apabila siswa telah menyimak ceritanya, guru meminta
siswa bermain peran tentang cerita yang didongengkan guru, lalu mengungkapkan
hal-hal menarik dari dongeng tersebut.

3. Menulis Cerpen /Dongeng
Pembelajaran ini dapat dilakukan melalui serangkaian metode, seperti:
copy the master. Caranya, guru memenggal sebuah cerpen, lalu menyuruh
siswa untuk melanjutkannya dengan imajinasi masing-masing;
guru mengajak siswa bermain peran yang permainan ini melahirkan cerita.
Cerita tersebut sudah terbentuk unsur-unsurnya, namun akhir cerita
dibiarkan menggantung. Siswa diminta untuk mengembangkannya dengan
menulis cerpen/dongeng.
Apa yang disajikan di atas hanyalah beberapa contoh saja. Guru dapat
membuat dan mengembangkan sendiri model yang sasuai dengan situasi dan kondisi.
Kesimpulan
Cerita Pendek (Cerpen), novel, dan roman termasuk jenis karya sastra prosa fiksi. Perbedaaan ketiganya di samping panjang pendek dengan ukuran jumlah kata yang digunakan juga bias dilihat dari tema, plot, dan lamanya penceritaan. Cerpen dengan jumlah kata 2000 sampai 3000 kata juga biasanya menggunakan tema tunggal. Berbeda dengan cerpen, novel dan roman selain dari tema utama juga terdapat subtema-subtema. Novel dan roman memang tipis sekali perbedaannya, yaitu dapat dilihat dari penceritaannya, di mana novel menceritakan sepenggal kisah hidup sang tokoh sedangkan roman mengisahkan kehidupan tokoh mulai dari lahir sampai meninggal. Oleh sebab itu, banyak orang tidak membedakan antara roman dengan novel.         
Pengajaran sastra dapat dibuat menarik (dan seharusnya mensarik) asal ada kepedulian terutama dari pihak guru. Guru yang peduli akan mengubah wajah pengajaran sastra menjadi mata pelajaran idola, bukan sebagai mata pelajaran yang membosankan. Kuncinya adalah inovasi yang merupakan implementasi penemuan dan kreativitas.
Dengan lebih fokusnya Standar Isi dalam menempatkan pengajaran sastra diperlukan reorientasi terhadap pengajaran sastra. Siswa perlu mengetahui subtansi pelajaran; siswa memerlukan contoh baik contoh karya sastra maupun contoh mengerjakan tugas. Ajaklah siswa berinteraksi, tidak sekadar menghafal “materi duduk”, baik dalam kelompok kecil maupun kelompok besar. Variasi pertanyaan membuat siswa menggali potensi dirinya, terutama dalam menyampaikan pengalaman dan pendapat. Siswa juga perlu diajak menilai teman-temannya, teruma dalam berdiskusi karena kemampuan menilai orang lain akan berdampak pad diri sendiri. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah refleksi di akhir pelajaran, baik dari guru maupun dari siswa sendiri. Di samping itu, kegiatan di luar kelas (outdoor activities) akan meningkatkan kemampuan apresiasi dan kreativitas siswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar