Arsip Blog

Sabtu, 16 April 2011

Masalah Moral dalam Ilmu Bahasa dan Penggunaannya


Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan masalah moral. Ketika Copernicus (1473—1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa "bumi yang berputar mengelilingi matahari" dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan dalam ajaran agama maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan (nilai moral), seperti agama. Dari interaksi ilmu dan moral tersebut timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo oleh pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari (Sumantri, 2001:233). 
            Ketika ilmu dapat mengembangkan dirinya, yakni dari pengembangan konsepsional yang bersifat kontemplatif disusul penerapan-penerapan konsep ilmiah ke masalah-masalah praktis atau dengan perkataan lain dari konsep ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk konkret yang berupa teknologi, konflik antarilmu dan moral berlanjut. Seperti kita ketahui, dalam tahapan penerapan konsep tersebut ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, tetapi lebih jauh lagi bertujuan memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Bertrand Russel menyebut perkembangan ini sebagai peralihan ilmu dari tahap “kontemplasi ke manipulasi” (Sumantri, 2001:234).
            Dalam tahap manipulasi masalah moral muncul kembali. Kalau dalam kontemplasi masalah moral berkaitan dengan metafisika keilmuan maka dalam tahap manipulasi masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Atau secara filsafati dapat dikatakan bahwa dalam tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontologis keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi aksiologi keilmuan. Aksiologi itu sendiri adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapai ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Ilmuwan golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam tahap ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, terlepas apakah pengetahuan itu dipergunakan untuk tujuan baik ataukah untuk tujuan yang buruk. Ilmuwan golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya kegiatan keilmuan haruslah berlandaskan pada asas-asa moral. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni, (1) ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan; (2) ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi salah penggunaan; dan (3) ilmu telah berkembang sedemikian rupa sehingga terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial. Berdasarkan ketiga hal itu maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan (Sumantri, 2001:234).
            Pertanyaan yang muncul kemudian dalam pembahasan ini adalah masalah moral apakah yang terjadi dalam ilmu bahasa dalam penggunaannya? Dilihat dari segi ontologis dapat dikatakan bahwa hakikat bahasa adalah perpaduan antara bunyi dan makna sehingga menjadi tanda sebagai alat untuk komunikasi manusia (Sibarani, 1992:3). Komunikasi di sini tentunya dimaksudkan sebagai komunikasi dengan nilai-nilai yang baik untuk tujuan interaksi yang baik pula. Namun, ketika secara aksiologis kemudian pengetahuan bahasa dipakai untuk tujuan-tujuan subjektif individu atau kelompok maka masalah moral dari kegunaan atau fungsi bahasa muncul. 

a.    Moralitas Bahasa
            Memandang bahasa dari segi moralitas penggunaannya bukanlah merupakan hal yang mudah. Baik atau buruk, atau menilai secara moral penggunaan bahasa bergantung dari sisi mana kita memandang. Dari sisi penyampai bahasa (komunikator), suatu bahasa atau pernyataan dapat dikatakan baik meskipun dari sisi penerima (komunikan) berakibat buruk, dan sebaliknya, suatu bahasa atau pernyataan dapat diangap baik oleh penerima pesan meskipun dari sisi penyampai pesan sebenarnya tidak baik.   
            Secara umum pandangan yang ada mengenai moralitas adalah penilaian bahwa sesuatu itu baik atau buruk. Filosof Yunani Aristoteles (Kurtiness dan Gerwitz, 1993:14) menyatakan bahwa moralitas adalah hidup yang tertuang dalam perilaku yang benar, yaitu perilaku yang benar dalam hubungannya dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri. Immanuel Kant dalam metafisika kesusilaan (Tjahjadi,1991:47) mengartikan moralitas (sittlichkeit) sebagai kesesuaian sikap dan perbuatan kita dengan norma atau hukum batiniah kita, yakni apa yang kita pandang sebagai kewajiban kita. Apapun batasan mengenai moralitas, berkaitan dengan aksiologi keilmuan sepantasnyalah kita berpedoman pada para ilmuwan golongan kedua yang berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.
            Kenyataannya, ilmu bahasa atau pengetahuan mengenai bahasa kini digunakan untuk melaksanakan atau mencapai tujuan-tujuan tertentu sehingga sesungguhnya dapat kita pertanyakan moralitasnya. Memang sejak zaman dahulu bahasa telah digunakan untuk tujuan tertentu, seperti telah diuraikan di atas bagaimana orang Belanda membawa ilmu bahasa ke Indonesia untuk misinya, tetapi kini bahasa digunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih kompleks dan tersembunyi. Pengetahuan berbahasa atau ilmu bahasa telah direkayasa sedemikian rupa untuk tujuan pribadi atau kelompok sehingga bahasa bukan lagi sekadar alat komunikasi, melainkan sebagai alat  dengan makna tertentu.
b.    Bahasa sebagai Alat Kekuasaan dan Hegemoni
            Menurut Antonio Gramsci, konsep hegemoni terjadi ketika golongan masyarakat yang tertindas tereksploitasi dan secara sukarela mengabdi kepada penindas mereka (Fakih dalam pengantar Artha, 2002:xiv). Namun, dalam konsep sekarang hegemoni yang terjadi bukan lagi berwujud penindasan secara faktual, melainkan bisa secara tersamar sehingga kadang-kadang pihak yang tertindas tidak merasa tertindas atau tidak merasa menjadi korban. Hal itu dimungkinkan terjadi karena  konsep hegemoni dan kekuasaan tersebut dioperasionalkan melalui bahasa. Kekuatan bahasa yang di antaranya mengandung eufimisme memungkinkan segala sesuatu menjadi tampak baik, halus, dan tersamar meskipun sebenarnya (kenyataannya) kurang baik.  Lihat saja penggunaan kata-kata yang marak, terutama pada zaman Orde Baru, oleh para birokrat terhadap rakyat miskin.  Ketika  itu rakyat miskin atau yang dianggap melawan sering dikategorikan sebagai "tidak beradab" sehingga harus "didisiplinkan", "diregulasi", dan "dibina". Dengan demikian, istilah-istilah yang sering disuarakan oleh para penguasa pada waktu itu seperti mendisiplinkan, meregulasi, dan membina sebetulnya mengaburkan makna atau kenyataan sesungguhnya supaya program-program yang dilaksanakan terlihat baik dan tidak berkesan menindas. Sampai saat ini gejala pemakaian bahasa seperti itu masih sering terjadi, misalnya kenyataan penggusuran rumah-rumah atau bangunan yang dianggap liar sebagai penertiban atau relokasi, penggusuran rumah-rumah rakyat yang lokasinya akan dibangun perumahan atau mal-mal dikatakan sebagai penataan lingkungan atau tata kota, proyek penggantian armada angkutan lama menjadi baru menjadi peremajaan,  dan belakangan ini di Semarang agenda tersembunyi proyek perobohan bangunan bersejarah untuk membangun yang baru dikatakan sebagai pengangkatan atau pendongkrakan bangunan.          
            Fenomena semacam itu akan terus terjadi sepanjang para penguasa dan kaum cerdik pandai tidak ingin terbuka, ditambah faktor bahasa dengan kekuatan daya pengaruhnya  yang memang memungkinkan hal seperti itu. Dalam relasi antara bahasa dan kekuasaan itu bahasa tidak lagi dapat dilihat sekadar sebagai alat komunikasi yang netral dan bebas nilai karena bahasa sudah mengandung unsur kekuasaan. Dari situ bahasa dapat dipertanyakannya nilai moralitasnya karena di balik bahasa tersebut terdapat makna yang mengindikasikan martabat dan harkat manusia diturunkan. Dengan demikian, relasi antara bahasa dan kekuasaan tersebut lebih banyak bertentangan landasan ilmu secara moral. Parahnya, relasi antara bahasa dan kekuasaan tersebut, seperti dikatakan Foucault (M. Fakih dalam pengantar Artha, 2002:xvi), terjadi tidak hanya dalam bidang politik dan ekonomi, tetapi pada hampir semua aspek kehidupan dan hal itu dianggap Foucault mengingkari kenyataan.
c.    Bahasa sebagai Alat Pembenaran Pribadi
            Bahasa muncul sebagai alat pembenaran pribadi, baik individu maupun kelompok, manakala bahasa dipakai untuk membenarkan anggapan, keyakinan, tindakan, atau perilaku pribadi tanpa memperhatikan atau bahkan mengesampingkan kebenaran (objektif) yang ada di pihak lain.  Dalam hal ini komunikator dengan bebas menafsirkan bahasa atau fakta yang ada dan dengan kecerdasan inteletualnya mengoperasionalkan bahasa untuk membenarkan dirinya. Bahasa atau kenyataan yang dapat dikaburkan atau bahkan dimanipulasikan kebenarannya biasanya berupa bahasa yang cenderung ambigu/multitafsir dan kenyataan yang samar-samar.
            Dalam konteks Indonesia, bahasa yang cenderung bersifat demikian banyak terjadi di dalam dunia hukum dan perundang-undangan yang memang karena mungkin belum mantap benar, akhirnya membuka celah untuk multitafsir. Kita tentu masih ingat pada kasus yang pernah menjadi perdebatan yaitu ketika penerbitan SKP3 Suharto oleh Kejaksaan Agung mungkin dapat menjadi contoh bagaimana antara pihak yang setuju dengan penerbitan SKP3 dan pihak yang menentang masing-masing dengan kepintaran berbahasanya menafsirkan undang-undang dan membenarkan pendapat pribadinya. Kasus perdebatan tentang RUU AAP (Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Antipornoaksi) yang marak belakangan ini juga demikian. Masing-masing pihak, yang setuju dan yang tidak setuju dengan RUU APP, berargumen dengan bahasanya dan membenarkan pendapatnya sendiri-sendiri sehingga membingungkan masyarakat dan mengaburkan masalah hakikinya.
            Masalah yang paling menyentak dan menyentuh harkat dan martabat kemanusiaan akhir-akhir ini mungkin adalah ketika pejabat kementerian luar negeri Amerika Serikat, dengan ringannya berkomentar bahwa bunuh diri tiga tahanan di penjara Guantanamo sebagai "iklan yang bagus" untuk para tahanan dan bunuh diri itu merupakan bagian dari strategi dan taktik mereka (para tahanan). Dari pernyataannya itu terlihat jelas AS membela dirinya atas sorotan dan kritikan tajam  masyarakat internasional yang mensinyalir adanya kekejaman penanganan terhadap tahanan politik milik AS tersebut. Pernyataan itu memunculkan kesan AS berusaha mengaburkan kenyataan di tempat yang memang sangat tertutup tersebut.  
     Dari kasus-kasus di atas moralitas bahasa dapat dipertanyakan.  Jika memang apa yang disampaikan berakibat menurunkan martabat dan harkat kemanusiaan, bahasa yang dioperasionalkan bertentangan dengan nilai moral yang baik
d.    Bahasa sebagai Alat Perjuangan dan Media Pembebasan
            Munculnya fungsi bahasa sebagai alat perjuangan individu atau kelompok dan juga sebagai media pembebasan disebabkan adanya kekuasaan dan hegemoni dalam tatanan kehidupan manusia. Adanya kesadaran akan ketertindasan, bukan hanya dalam hal ekonomi melainkan dalam berbagai aspek kehidupan, menimbulkan dorongan bagi kaum yang merasa tertindas untuk melakukan perjuangan. Seperti halnya para penguasa yang mengoperasionalkan dominasi kekuasaan mereka dengan bahasa, kaum tertindas pun melakukan perjuangan kepentingan mereka dengan bahasa.  
            Bagi kaum tertindas bahasa digunakan sebagai media pembebasan seperti yang terjadi ketika ada sekelompok penyandang cacat di Yogyakarta menentang penggunaan kata disable yang artinya 'tidak mampu' bagi para tunanetra, tunarungu, dan tuna yang lainnya dan menggantinya dengan istilah diffable yang merupakan singkatan dari bahasa Inggris differently able people. Kata diffable selanjutnya mempunyai pengertian yang memberdayakan dibandingkan dengan disable karena dalam kata diffable terkandung makna bahwa orang yang  tidak dapat melihat atau tidak dapat  mendengar tidak serta berarti tidak mampu. Mereka yang tidak dapat melihat dengan mata kepala sendiri masih dapat melihat dengan mata hatinya, dan mereka yang tidak mampu mendengar masih memiliki kemampuan lainnya. Dalam konteks bahasa sebagai media pembebasan bagi para penyandang cacat tersebut terkandung nilai yang baik karena bertujuan meningkatkan martabat kemanusiaan para penyandang cacat. Dengan demikian, pengetahuan terhadap bahasa yang dipergunakan untuk memperjuangkan kelompok penyandang cacat tersebut sesuai dengan landasan ilmu moral.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar