Arsip Blog

Selasa, 12 April 2011

TRANSDICIPLINARITY

Pernyataan dan konsep yang ilmiah mempengaruhi nilai sosial budaya, sedangkan tindakan sosial mempengaruhi sudut pandang terhadap kesempatan sosial yang sama, pemahaman manusia dan lingkungan fisik, pandangan budaya terhadap kebebasan dan tanggung jawab pribadi. Oleh karena itu, konsep ilmu, sebagai suatu pencarian kebenaran yang netral, bernilai dan mandiri, harus ditolak.
Pendekatan, yang menetapkan ilmu mempunyai status hak epistemologi, membebaskan para ilmuwan dari tanggung jawab atas akibat-akibat penelitian mereka dan menarik masyarakat dari hak-hak menentukan keputusan apa saja tentang nilai sosial, status dan efek-efek proyek ilmiah tertentu yang dapat dialokasikan. Banyak ilmuwan tidak percaya bahwa dalam ilmu ada pertanyaan-pertanyaan etik yang penting karena ilmu itu objektif. Dengan pernyataan bahwa moralitas dan etik tidak memainkan peranan penting dalam ilmu karena ilmu menemukan kebenaran yang objektif. Banyak ilmuwan menentang untuk memperhatikan kerja mereka tanpa memperhatikan konsekuensi etik. Akan tetapi ahli fisika Max Born (dalam Cerovac, 2009), yang mendapat nobel untuk fisika (1954) menyatakan bahwa the sciences of nature have destroyed, perhaps forever, the ethical foundations of civilization.
Dewasa ini ilmu menjadi sesuatu yang dominan dan penting dan tidak dapat meninggalkan nilai-nilai sosial dari misi tertentu yang hanya diperuntukkan kepentingan ilmiah dan kerjasama industri dan politik. Oleh sebab itu, dialog antara ilmuwan dan delegasi, yang berasal dari masyarakat yang tidak profesional tentulah tidak dapat dihindarkan. Kritik praktis yang ilmiah dan aktual bukanlah kerusakan bagi ilmu dan hanya dihubungkan dengan penerapan-penerapan yang ilmiah dan pemakaian beberapa pencapaian yang ilmiah. Sebagai contoh fenomena di atas adalah dialog antara teologi dan ilmu alam.
Cerovac (2009) menjelaskan bahwa dialog tersebut wajib menjadi perlindungan yang pertama bagi semua perlindungan  manusia dengan manusia akan kebahagiaannya yang utama. Untuk merealisasikan dialog ini, penting sekali bagi kita mempunyai sudut pandang yang apriori dan luas yang bertentangan dengan penurunan semua realitas yang hanya untuk hal penting. Ini merupakan dialog pemahaman teologi dan kontribusi ilmu baru  secara terus menerus dan selalu berkelanjutan di area yang masih tidak diketahui. Akibatnya, akan ada yang duduk dalam satu disiplin, ada yang mungkin ditarik oleh relasinya, dan mungkin tidak begitu penting apa disiplin yang lain.
Dari diskripsi di atas, secara praktis menurut Cerovac (2009) satu-satunya cara pendekatan untuk pertanyaan-pertanyaan, masalah, dan konteks sosial ilmu yang lebih kompleks adalah transdisiplinarity, yaitu gabungan pengetahuan yang berimplikasi tak terkodekan, informal, disiplin dan tidak disiplin. Transdisiplinaritas memungkinkan interaksi antara ilmu dan masyarakat. Transdisiplinaritas dapat dipandang sebagai usaha teoritis untuk “mengatasi disiplin” dan, melalui ini, menjawab yang bertentangan dengan yang paling khusus (superspecialization) yaitu suatu proses yang  menampilkan  pemilahan pengetahuan yang berkembang secara dramatis. Sementara pada saat yang sama mendukung kompensasi kreatifitas dan misi khusus bagi masing-masing bidang ilmu yang spesifik.
Menurut Chaeruman (2010) inilah pentingnya transdisiplinaritas, suatu disiplin yang tidak pernah berdiri sendiri seperti orang autis yang asik dalam dunianya sendiri. Pernyataan ini mendukung diskripsi Somerville, dalam Symposium Transdisiplin: Menstimulasi sinergi, memadukan pengetahuan, UNESCO, 1998 (dalam Chaeruman, 2010) yang mengilustrasikan bahwa:
We speak the language of our discipline, which raises two problems: first, we may not understand the languages of the other disciplines; second, more dangerously, we may think that we understand these, but do not, because although the same terms are used in diferent disciplines, they mean something very different in each.

Beliau memaparkan terkadang kita bicara dengan bahasa disiplin kita sendiri, yang justeru akan menghasilkan dua permasalahan. Pertama, kita mungkin tidak memahami bahasa disiplin lain. Kedua, ini yang lebih berbahaya, kita mungkin berpikir bahwa kita memahami bahasa disiplin kita, tapi ternyata tidak, karena mesikipun istilah yang sama digunakan dalam disiplin yang berbeda, istilah atau konsep tersebut memiliki makna yang berbeda, sangat berbeda.
Sedikit uraian di atas akan membawa kita untuk memahami apa dan seperti apakah transdisiplinaritas itu, yang akan diuraikan pada subjudul berikut.

II.    Apakah Transdisiplinaritas itu?
Julie Tomphson Klein, 2001 (dalam Chaeruman, 2010) transdisciplinarity is joint problem solving among science, technology and society. Beliau mendefinisikan transdisiplinaritas sebagai pemecahan masalah bersama antara sains, teknologi dan masyarakat. Selain itu, masih dalam artikel milik Chaeruman, namun agak lebih oprasional Gavan McDonel, (1998) memaparkan bahwa transdiscipIinarity is integrating and transforming fields of knowledge from multiple perspectives to enhance understanding of problems to be addressed, in order to improve future choices.  Menurut beliau transdisiplinaritas merupakan suatu cara mengeintegrasikan dan mentransformasi bidang-bidang pengetahuan dari multi atau berbagai perspektif untuk meningkatkan pemahaman masalah yang dicoba dipecahkan untuk meningkatkan pilihan di masa mendatang. Selanjutnya, diuraikan pula transdisiplinaritas adalah
the way to attain an integrated concept and practice of knowledge, and consequently to address many crucial issues of our age through a transdiciplinarity approach, does not lie in applying ready-made, ‘mechanical’ procedures based on automatic, stereotyped formulas and standardized recipes; but rather, in establishing various complex, integrative process to be mindfully and cautiously implemented in the light of manifold criteria.

Transdisiplinaritas merupakan cara untuk memperoleh konsep dan penerapan pengetahuan terpadu, dan oleh karenanya terfokus pada banyak isu-isu penting pada eranya melalui suatu pendekatan transdisiplinaritas. Lebih jauh lagi, cara ini tidaklah memijakkan diri pada penerapan yang siap pakai, misalnya prosedur mekanik yang berdasarkan formula-formula yang stereotip dan otomatis serta petunjuk-petunjuk yang standar, akan tetapi menetapkan berbagai macam proses yang terpadu dan kompleks untuk diimplementasikan secara sadar dan hati-hati pada keingintahuan akan berbagai norma.
Sebenarnya, menurut Jantsch, 1972; Lawrence & Despres, 2004; Ramadier, 2004 (dalam Gidley, 2008:132) istilah transdisiplinarity telah sering diatributkan untuk Erisch Jantsch karena dia yang pertama kali menggunakan istilah tersebut dalam sebuah publikasi. Nicolescu (2002:1 dalam Gidley, 2008:132) pada awalnya menentang hal ini dengan pernyataannya sebagai berikut:
The term transdisciplinarity first appeared three decades ago almost simultaneously in the works of such varied scholars as Jean Piaget, Edgar Morin, and Erich Jantsch… to give expression to a need that was perceived—especially in the area of education—to celebrate the transgression of disciplinary boundaries.

Nicolus akhirnya mendukung pernyataan ini dengan menyebut secara khusus penemuan transdisciplinarity kepada Piaget. Nicolescu dan kolega-koleganya —khususnya Edgar Morin — telah meneliti dan mengembangkan pendekatan ini melalui International Centre for Transdisciplinary Research in Paris.
Dari definisi di atas, apakah transdisiplinaritas sebagai disiplin baru atau pendekatan? Massimiliano Lattanzi (1998, dalam Chaeruman 2010) menjelaskan transdisciplinarity is not a discipline but an approach, a process to increase knowledge by integrating and transforming different perspectives. Transdisiplinaritas bukanlah suatu disiplin tapi suatu pendekatan, suatu proses untuk meningkatkan pengetahuan dengan mengintegrasikan dan mentransformasikan beragam perspektif yang berbeda-beda.
Jadi, dapat dijelaskan bahwa transdisiplinaritas menunjukkan suatu strategi penelitian yang berhubungan dengan banyak disiplin untuk menciptakan suatu pendekatan yang holistik. Transdisiplinaritas relevan untuk mengkaji hal-hal yang difokuskan pada masalah-masalah yang berhubungan dengan dua atau lebih dari disiplin, seperti penelitian pada sistem informasi untuk penelitian biomedical. Di samping itu transdisiplinaritas dapat mengacu pada konsep atau metode yang secara original dikembangkan oleh satu disiplin, tetapi sekarang digunakan oleh beberapa disiplin lainnya, misalnya ethnography, suatu metode penelitian lapangan yang secara original dikembangkan dalam disiplin anthropology tetapi sekarang dunakan secara meluas oleh disiplin ilmu lainnya.
Jelaslah, transdisiplinaritas telah digunakan untuk mengimplikasikan satu kesatuan ilmu jauh sebelum disiplin-disiplin lainnya.

III.   Kapan dan Mengapa Transdisiplinaritas Berkembang?
Transdisiplinaritas berkembang ketika para ahli yang bersatu bekerja bersama-sama dalam satu diskusi terbuka dan dialog terbuka, yang memberikan pengaruh yang sama terhadap masing-masing perspektif dan saling mengungkapkan satu sama lainnya. Hal ini disebabkan oleh banyaknya informasi yang diperhatikan dan karena ketidak-yakinan bahasa-bahasa dari para ahli di bidangnya masing-masing. Untuk dapat memperhatikan kondisi-kondisi semacam ini, para ilmuwan tidak hanya memerlukan pengetahuan yang mendalam dan tahu bagaimana melibatkan disiplin, tetapi juga keahlian dalam pengkontrolan diri, kerjasama, hubungan dan pemindahan ilmu.
Jean Piaget memperkenalkan penggunaan pendekatan ini pada periode tahun 1970, dan pada tahun 1987, the International Center for transdisciplinary Research (CIRET) mengimplementasikan Persetujuan Transdisiplinarity pada Kongres Dunia Pertama tentang Transdisiplinaritas.  Dalam pendekatan CIRET, transdisiplinaritas secara radikal berbeda dari interdisiplinaritas. Interdisiplinaritas, seperti pluridisiplinaritas, menghawatirkan transfer metode dari satu disiplin ke disiplin yang lain, membiarkan penelitian melampaui batasan disiplin ilmu, tetapi tetap dalam kerangka berpikir penelitian disipliner.
Seperti yang ditunjukkan pada prefix ”trans”, transdisiplinaritas menghubungkan pada sekali waktu antara disiplin-disiplin, berseberangan disiplin yang berbeda, dan melampaui jauh masing-masing disiplin individu. Tujuannya adalah pemahaman akan dunia saat ini, yang salah satu kepentingannya adalah kesatuan pengetahuan yang melingkar.

IV.  Karakteristik, Pilar dan Peran Transdisiplinaritas
Dalam thesisnya Gidley (2008:133) mengatakan bahwa sedikit klarifikasi mungkin diperlukan bagi domain yang operasional pada transdisiplinarity-nya Nicolescus. Hal ini mungkin bukan merupakan suatu kejutan bahwa istilah transdisiplinarity dapat digunakan sebagai suatu filosofi, epistemologi maupun metodologi. Teori Nicolescus yang rumit menambahkan dan juga membiarkan penerapannya yang fleksibel. Gidley menuturkan pada bab pertama dalam bukunya yang berjudul Manifesto of Transdisciplinarity Nicolescus (2002:2) mengemukakan transdisiplinaritas sebagai suatu ”pergerakan filsafat yang baru”. Dari perspektif ini Nicolescus (2002:119, masih dalam Gidley) menggambarkan “three fundamental characteristics of the transdisciplinary attitude”. Gidley (2008:133) memaparkan
These are rigour, opening and tolerance. I will briefly introduce these attitudes as they are an important indicator of the many ways that Nicolescu’s transdisciplinarity transcends more instrumental approaches. Transdisciplinary rigour is a “deepening of scientific rigor to the extent that it takes into account not only things, but also beings and their relations to other beings and things” (ibid., p. 120). Secondly, “the opening of transdisciplinarity implies, by its very nature, the rejection of all dogma, all ideology, all closed systems of thought” (ibid., p. 121). Thirdly, “tolerance results from accepting the fact that ideas contrary to the fundamental principle of transdisciplinarity exist” (ibid., p. 121).

Nicolescus memandang tiga karakteristik dasar itu sebagai kesulitan, kesempatan, dan toleransi, Karakteristik-karakteristik tersebut merupakan indikator penting bagi transdisiplinarity Nicoleuscus yang mengalahkan pendekatan-pendekatan yang lebih bermanfaat. Kesulitan transdisiplinaritas merupakan pendalaman ketidakfleksibelan terhadap perluasan yang tidak hanya memasukkan benda mati tetapi juga benda hidup. Yang kedua, kesempatan mengimlplikasikan, secara sangat alamiah, penolakan semua dogma, semua ideologi, semua sistem pikiran yang tertutup. Yang terakhir, toleransi merupakan akibat dari ide-ide yang bertentangan dengan prinsip dasar adanya transdisiplinaritas.
Lebih lanjut lagi, Nicolescus (2002:122, dalam Gidley (2008:133) juga menghadirkan tingkat studi transdisipliner yang bervariasi dari ”pemanfaatan penelitian disiplinaritas hingga perluasan master plan peradaban”. Beliau, dalam thesis karya Gidley, mencatat bahwa:
it can be used as an epistemology (p. 46) and also as a method—though it does not replace disciplinary methods but rather enriches them (p. 122). Later in the book when describing the main features of transdisciplinarity—which he refers to, variously, as the three axioms, postulates or pillars of transdisciplinarity—he refers to them as “three methodological pillars.” These three pillars are: “levels of Reality, the logic of the included middle, and complexity” (p. 45).

Tingkat studi ini dapat digunakan sebagai epistemology dan juga metode meskipun tidak menempatkan kembali metode-metode disiplin tetapi agak memperkaya metode-metode. Kemudian, beliau juga menggambarkan aspek-aspek utama -  yang dihadirkannya dalam berbagai hal, seperti  tiga aksioma, postulat atau pilar transidiplinaritas. Beliau menyebutnya sebagai tiga pilar metodologi. Tiga pilar ini adalah tingkat realitas, norma dasar yang terintegrasi, dan hambatan.
Sementara itu, ada satu pemikiran bahwa proses mengintegrasikan metodologi yang berbeda dari disiplin yang berbeda membawa suatu perkembangan metodologi yang mengalahkan disiplin ”murni”. Gidley (2008:134) menambahkan bahwa:
In epistemological terms, transdisciplinarity involves an integration of knowledges” (Horlick-Jones & Sime, 2004, § 2.1,para. 1). In an in-depth study of Nicolescu’s transdisciplinarity, philosopher Predag Cicovacki, proposes a renaming of the three pillars such that levels of reality would become “transdisciplinary ontology,” the logic of the included middle would become “transdisciplinary logic”, and the third pillar, complexity would be renamed “transdisciplinary epistemology.” In addition, Cicovacki suggests a fourth pillar: transdisciplinary values (Cicovacki, 2004).

Akhirnya, dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan transdisiplinaritas sangat dibutuhkan untuk memecahkan permasalahan dalam masyarakat yang sangat kompleks ini. Tidak lagi setiap masalah dilihat secara parsial dari satu sisi, tapi harus mensinergikan dengan perspektif lain. Oleh karenanya pemahaman akan dunia saat ini merupakan kepentingan kesatuan pengetahuan.
Dari paparan di atas, ada satu pertanyaan yaitu, apakah transdisipliner sebagai disiplin baru atau pendekatan? Massimiliano (dalam Chaeruman, 2010) menjelaskan sebagai bahwa transdisciplinarity is not a discipline but an approach, a process to increase knowledge by integrating and transforming different perspectives. (Massimiliano Lattanzi, 1998) Transdisiplinaritas bukanlah suatu disiplin tapi suatu pendekatan, suatu proses untuk meningkatkan pengetahuan dengan mengintegrasikan dan mentransformasikan beragam perspektif yang berbeda-beda.
Kemudian, bagaimanakah peran transdisipliner dalam dunia pendidikan? Semiawan (2008:131) memaparkan dalam menghadapi pemerataan (equality), yaitu praktik pendidikan secara makro (jadi tidak saja dalam sistem persekolahan di kelas), harus ipahami hubungan antara pluralisme dan keterkaitan. Beliau melanjutkan pemaparan dalam keragaman yang didominasi oleh kebudayaan tertentu memiliki resiko untuk kehilangan kualitas perbedaan yang merupakan kontribusi dan perspektif unik individu dan kelompok khusus. Beliau juga menyebutkan pengakuan terhadap perbedaan dan keragaman tersebut adalah esensial bagi keberlanjutan seluruh kehidupan bangsa karena dilandasi oleh etika kemanusiaan dan bersandar pada pemahaman terhadap berbagai ilmu (multireferensial), yang terobos-menerobos menyatu dalam satu keutuhan yang memiliki berbagai dimensi (transdisipliner).
Selanjutnya, Nowonty (1996, dalam Semiawan, 2008:132) mengatakan semua pengetahuan dan ketrampilan di masa yang akan datang akan merupakan hasil riset yang diwarnai oleh suatu transdisdiplinaritas. Karena produksi ilmu pengetahuan adalah suatu proses sosial yang mengalami diseminasi secara global, maupun lokal, melalui berbagai bentuk dan tempat maka di masa yang akan datang akan terjadi rekonfigurasi ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, Semiawan (2008) menekankan dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan di alam semesta ini, tak cukup civitas akademika dipersiapkan dengan satu disiplin saja berdasarkan kognisinya semata, melainkan diperlukan orientasi transdisipliner melalui interpenetrasi antara rasio, emosi, intuisi dan cipta talent.

V.   Antara Inter, Multi, Versus Transdisiplinaritas dan Refleksi Transdisiplinaritas dalam Perkembangan Ilmu
Di negara-negara yang berbahasa Jerman, transdisiplinaritas menunjukkan integrasi berbagai jenis penelitian, dan memasukkan metode khusus untuk menghubungkan ilmu pengetahuan dengan pemecahan masalah. Suatu konferensi tahun 2003 yang diadakan di Gottingen memperlihatkan berbagai arti dari multi-, inter- dan transdisiplinaritas dan menyarankan untuk menggabungkannya tanpa mengurangi pemakaian yang ada.
Saat kealamiahan problem kurang beralasan, transdisiplinaritas dapat membantu menentukan masalah yang paling relevan dan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang kompleks. Jenis pertanyaan pertama berkenaan dengan penyebab masalah yang ada dan perkembangan masa yang akan datang (system knowledge). Perhatian lain yang memanfaatkan nilai dan norma untuk mencapai tujuan proses problem-solving (target knowledge). Yang ketiga berhubungan dengan bagaimana situasi problematik dapat ditransformasikan dan diperbaiki (transformation knowledge). Trandisiplinaritas memerlukan hubungan yang cukup terhadap kerumitan masalah dan perbedaan persepsi di antaranya, yang menghubungkan pengetahuan yang abstrak dan pengetahuan yang spesifik dan studi yang mendukung keuntungan umum.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya oleh Nicolescus bahwa transdisiplinaritas didefinisikan melalui tiga postulat metodologi yaitu: the existence of levels of Reality, the logic of the included middle, and complexity. Pada level realitas ruang antara disiplin dan di bawah disiplin sangat penuh informasi. Penelitian disipliner melibatkan paling tidak satu pada level Realitas yang sama; lebih-lebih pada sebagian besar kasus, hanya  menghubungkan pada bagian-bagian dari satu level realitas.
Sebaliknya, transdisiplinaritas melibatkan kekuatan yang diakibatkan oleh beberapa level Realitas secara langsung. Penemuan kekuatan ini melampaui pengetahuan disciplinary. Sementara tidak ada disiplin ilmu baru atau superdisiplin baru, transdisiplinaritas didukung oleh penelitian disiplin, sebaliknya, penelitian disiplin dijelaskan oleh pengetahuan transdisiplinaritas dengan cara yang baru dan produktif. Logikanya, penelitian disipliner dan interdisipliner tidaklah antagonis tetapi saling melengkapi. Seperti halnya disiplinaritas,  penelitian transdisipliner tidaklah antagonis tetapi menyeimbangkan penelitian multidisiplinaritas dan interdisiplinaritas.
Akan tetapi, transdisiplinaritas secara radikal berbeda dengan multidisiplinaritas dan interdisiplinaritas karena tujuannya, yaitu pemahaman dunia sekarang ini yang tidak dapat dicapai dalam kerangka berfikir penelitian disiplinary. Tujuan multidisciplinaritas dan interdisiplinaritas selalu masih dalam kerangka berfikir penelitian disiplinaritas. Jika transdisiplinaritas sering dibingungkan dengan interdisiplinaritas dan multidisiplinaritas (dan dengan tanda yang sama, kita catat bahwa interdisiplinaritas sering dibingungkan dengan multidisiplinaritas), ini dijelaskan di bagian besar kenyataan yang ketiganya menutupi batasan disiplinaritas. Kebingungan ini sangat berbahaya karena menyembunyikan potensial transdisiplinaritas yang besar.
Selanjutnya, Hendrick (2009:22) menambahkan transdisiplinaritas juga merupakan istilah yang berarti benda yang berbeda untuk orang yang berbeda. Beliau menjelaskan bahwa hal ini berarti bahwa untuk setiap orang, transdisiplinaritas berarti sesuatu yang lebih, atau berbeda, daripada pendekatan interdisiplinaritas sebelumnya, khususnya ketika pendekatan ini bekerja dalam kerangka berfikir yang linear:
―…common ground and a more comprehensive, holistic understanding … emerge in the cross-fertilization of multiple methods and perspectives that are adapted to the task at hand. … research is multilevel. On the micro-level, research teams must learn to work in inter- and transdisciplinary settings that are inclusive of multiple stakeholders. On a meso-level, the science system is beginning to transform and to create appropriate curricula and institutional surroundings. On the macro level, political transformations have effects on the science system (Loibl, 2000). An added lesson is that new forms of knowledge, institutional structure, and problem solving require a new dialogue of science and humanities. (Klein, 2004 p. 6)
Kemudian, lebih jelasnya, dikemukakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan telah melalui tahap-tahap yang meliputi disiplinaritas, multidisiplinaritas, pluridisiplinaritas, interdisiplinaritas, dan transdisiplinaritas. Sebelum kita telaah lebih lanjut, Massimiliano (1998, dalam Chaeruman) mendefinisikan:
The difference between an interdisciplinary and a transdisciplinary approach is as follows: in the former, disciplines offer a parallel analysis of problems (..); in the latter, disciplines offer their specific approaches and even basic assumptions, to a dialogue, in order to address complex issues together. In the case of transdisciplinarity, approaches and even methods are developed in a joint effort, something which is indeed difficuIt in complex societies, but very necessary ( . .)

Perbedaan antara pendekatan interdisiplinaritas dengan transdisiplinaritas adalah sebagai berikut. Interdisiplinaritas menawarkan analaisis masalah secara paralel; sedangkan transdisiplin menawarkan pendekatan yang spesifik dan bahkan asumsi dasar, untuk suatu dialog, untuk memahami isu kompleks bersama. Dalam kasus transdisiplinaritas, baik pendekatan maupun metode dikembangkan dalam suatu usaha bersama, sesuatu yang memang benar-benar sulit dalam masyarakat yang kompleks, tapi sangat dibutuhkan. Lalu, Nowotny (1996, dalam Semiawan, 2008:126) menambahkan upaya pengembangan ilmu melalui dynamic interplay antar berbagai ilmu telah melahirkan interdependency antar disiplin, yang terutama di masa yang akan datang akan memberi corak transdisiplinaritas dalam pengembangannya.
Setelah kita pahami definisi di atas berikut ini akan dideskripsikan tahapan disiplin yang telah disebutkan di atas. Pada tahap disiplinaritas, ilmu pengetahuan berkembang dengan berbagai disiplin ilmu yang sangat spesifik seperti Medicine (Kedokteran), Filsafat, Teologi, dan Hukum. Pada tahun 1950-an, Universitas Illionis mendaftar lebih dari 1.100 disiplin ilmu belum termasuk humaniora (Schultz, tanpa tahun). Disiplinaritas dimaksudkan sebagai mono-disiplin, yaitu spesialisasi dan isolasi dalam disiplin ilmu.
Tahap selanjutnya adalah multidisiplinaritas. Pada tahap ini seseorang dapat mempelajari lebih dari satu bidang ilmu secara simultan, tetapi tidak membuat keterkaitan di antara bidang-bidang ilmu tersebut. Misalnya, seseorang dapat menjadi kompeten dalam ilmu Kimia, Sosiologi, dan Linguistik tanpa melakukan sintesa kerjasama di antara ilmu-ilmu tersebut. Pada tahap pluridisiplinaritas sudah tercipta kerjasama antar-disiplin ilmu, tetapi belum tercipta koordinasi. Misalnya, terjadi kombinasi antara fisika, kimia, dan geologi atau antara sejarah, sosiologi, dan bahasa. Studi pada seseorang di antara mereka akan menguatkan pemahaman bagi yang lain. Pada tahap interdisiplinaritas telah terbentuk organisasi dua level hirarki keilmuan. Hal ini berarti telah terjadi koordinasi antara disiplin ilmu dengan level hirarki yang lebih rendah dan yang lebih tinggi. Gambaran visual disiplinaritas, multidisiplinaritas, dan interdisiplinaritas dapat dilihat pada Gambar 1. Selanjutnya, Gambar 2 menyajikan tiga tipe interdisiplinaritas disiplin ilmu.
Gambar 1. Tahap-tahap Perkembangan Disiplin Ilmu
Sumber: Max-Neef, 2005

Transdisiplinaritas dalam keilmuan berkembang sebagai hasil dari koordinasi di antara seluruh level hirarki disiplin ilmu. Sebagaimana tampak pada Gambar 3, disiplin-disiplin ilmu pada dasar piramida transdisiplinaritas mendeskripsikan dunia apa adanya (what exists). Level kedua mendeskripsikan apa yang mampu kita lakukan (what we are capable of doing). Level ketiga menggambarkan apa yang ingin kita lakukan (what we Want to do). Level paling atas menggambarkan apa yang harus kita lakukan (what we must do) atau bagaimana melakukan apa yang ingin kita lakukan (how to do what we want to do). Dengan kata lain, dalam transdisiplinaritas, pengembangan ilmu berjalan level empiris menuju level purposif atau pragmatis (ada tujuan atau pertimbangan), berlanjut ke level normative, dan berakhir pada level nilai.

Gambar 2. Tipe-tipe Interdisiplinaritas
Sumber: Max-Neef, 2005
Gambar 3. Pengembangan Ilmu pada Tahap Transdisiplinaritas
Sumber: Max-Neef, 2005
Akhirnya untuk melihat prinsip-prinsip transdisipliner Von Stillfried (2007:8, dalam Hendrick (2009:80-81)) menerangkan:
the principles of transdisciplinarity (namely the merging of disciplines and the formulation of common axiomatic frameworks) can be applied to academic as well as non-academic undertakings, will usually serve to make individual disciplines more understandable and transparent across their boundaries and may lead to results which are more widely applicable and communicable than research stemming from only one discipline.

Von Stillfried juga merespon peranan intuisi dan perasaan proses transdisipliner sebagai an irreducible part of this reality and as such both irreplaceable in any comprehensive transdisciplinary understanding and indispensable for putting this understanding into action.
Sebagian orang merancang transdisipliner dengan cara yang lebih umum dan radikal yaitu: transdisipliner melibatkan pandangan baru pengalaman hidup. Hal ini merupakan cara transformasi diri sendiri yang berorentasi pada pengetahuan itu sendiri, kesatuan pengetahuan, dan ciptaan seni hidup yang baru. Bertea (2007, dalam Hendrick 2009:80) menyebutkan dalam proses menggabungkan disiplin-disiplin dan mengembangkan kerangka pikir yang overarching dan dengan kepentingan yang disatukan pada subjek maupun objek. Menurut von Stillfried, disiplin-disiplin tersebut dipadukan dan ditransendenkan adn situasi ia tunjukkan sebagai metadisipliner. Ini akan memasukkan aspek-aspek baru seperti komponen-komponen refleksi diri  dan referensial diri. Hal ini berarti situasi baik perspektif disipliner (horizontal) maupun perspektif inter- dan transdisipliner (vertikal) berkembang jauh. Von Stillfried ( dalam Hendrick, 2009:81) mengilustrasikan  pemahamannya akan transdisipliner dapat digambarkan pada  diagram berikut:
VI.  Analogi Transdisipinaritas
Pendekatan transdisiplinaritas sangat dibutuhkan untuk memecahkan permasalahan dalam masyarakat yang sangat kompleks ini. Tidak lagi setiap masalah dilihat secara parsial dari satu sisi, tapi harus mensinergikan dengan perspektif lain.
Sebagai contoh, Chaeruman (2010) menganalogikan sebuah kursi dengan penyangga empat kaki yang akan membuat kita duduk nyaman. Pertanyaannya, apakah jika salah satu kakinya patah atau tidak berpfungsi, kenyamanan duduk kita berkurang 25%? Jawabannya ya, jika kita pandang dari persfektif operasi hitung matematika dasar (pembagian). Tapi kenyataanya, tidak demikian bukan? walaupun hanya 1 kaki kursi yang tidak berfungsi, kalau dilihat dari perspektif ergonomi, ternyata kenyamanan duduk kita jadi hilang lebih dari 25% bahkan mungkin 90%. Memecahkan masalah kenyamanan dalam duduk ternyata bukan hanya milik disiplin ilmu matematika, dan fisika, tapi juga biologi, ergonomi, dan mungkin bahkan psikologi berbicara disana.
Lain halnya, misalnya Bill Gate yang mengembangkan software Microsoft untuk memecahkan satu masalah sederhana, yaitu "userfriendliness". Dia harus menghire ahli dari berbagai disiplin mulai dari ahli mata, ahli komunikasi visual, ahli grafis, ahli psikologi, ahli komputer, ahli pemrograman, ahli fisika, dan banyak lagi.
Kemudian, dalam usaha mengumpulkan serpihan-serpihan menjadi satu keutuhan kembali, Bohn (96, dalam Semiawan, 2008:126) dianalogikan sebagai cermin yang pecah, yang tidak akan memantulkan suatu refleksi yang benar. Hal ini berarti bahwa untuk memperoleh suatu wawasan yang holistik, bahkan kelak tak cukup pendekatan pluri (multi) dan interdidipliner dan juga bukan mewujudkan sintesa konsep dan teori saja, tetapi diperlukan suatu penalaran transdisipliner, penalaran yang tidak lumpuh di antara berbagai disiplin (Jusuf, D, 2002:96, dalam Semiawan 2008:127). Semiawan melanjutkan hal ini disebabkan oleh yang menjadi fokus perhatian adalah gejala multidimensional dan bukan disiplin yang mencermati satu dimensi saja dari gejala tersebut.

VII. Contoh Transdisiplinaritas
Kesulitan akan tantangan menghadapi manusia dan bumi memerlukan ahli dari berbagai bidang. Hubungan yang non-linear dalam hubungan manusia dan fisiknya membuatnya dapat diprediksi sehingga akibat tindakannya akan terjadi di area yang berbeda. Selain itu, respon yang ada bagi suatu masalah tidak dapat dibatasi oleh batasan disiplin. Kepentingan ini menaikkan pertimbangan praktis maupun filosofis untuk penelitian dan studi yang akan datang.
Untuk memahami hal di atas lebih jauh, bagaimana pendekatan transdisiplinaritas digunakan untuk memahami suatu pengetahuan yang berkaitan dengan hal tersebut, berikut dipaparkan beberapa contoh pendekatan transdisciplinaritas.
1.    Dalam Bahasa dan Sosial
Dalam ilmu bahasa, bahasa diartikan sebagai sistem lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat artikulasi dan artikulator.  Sistem lambang  bunyi dipelajari dari  ilmu bahasa (fonologi), tetapi bagaimana alat artikulasi dan artikulator bisa menghasilkan  bunyi-bunyi tertentu tidak mungkin dipelajari dalam ilmu bahasa. Ilmu yang mempelajari masalah ini adalah ilmu biologi. Jadi, dalam hal   ini ilmu bahasa dan ilmu biologi harus bersinergi.
Bahasa kalau dilihat dari fungsinya sebagai alat komunikasi maka ada bahasa kaidah dan bahasa komunikatif. Kedua hal ini tidak bisa dipisahkan karena untuk memahami sebuah kalimat tentu harus memahami kaidah strukturnya (tata bahasa), tetapi  kalimat yang sesuai dengan kaidah struktur (tata bahasa) belum tentu dapat mengkomunikasikan suatu pesan. Misalnya, “ Dia pergi ke Pajak (pasar )Ikan”. Kalimat ini hanya dapat dipahami pada daerah dan situasi tertentu saja dan tidak dipahami oleh masyarakat luas. Contoh ini menunjukkan bahwa  ilmu bahasa dan ilmu sosial juga perlu berintegrasi.
Bahasa jika ditinjau dari budaya maka akan tergambar, bagaimana seseorang memperoleh bahasa pertama dan bagaimana pula seseorang memperoleh bahasa kedua.  Pemerolehan bahasa pertama berkaitan erat dengan pertumbuhan dan perkembangan anak secara fisik dan psikologi. Dari segi perkembangan fisiknya pemerolehan bahasa pertama anak berkaitan dengan kesehatan biologisnya seperti alat ucapnya dan alat pendengarannya serta perkembangan sel  otaknya. Kemudian, perkembangan psikologinya berkaitan dengan perkembangan intelegensi anak dan dan pendidikan lingkungannya. Begitu juga dalam pemerolehan bahasa kedua berkaitan dengan lingkungan sosial masyarakat di mana seseorang itu tumbuh. Untuk hal yang seperti ini, transdisipliner ilmu bahasa,  ilmu biologi, ilmu sosial, dan psikologi sangat diperlukan. Oleh sebab itu, maka lahirlah psikolinguistik dan sosiolinguistik pengjaran bahasa.  
     
2.    Dalam Manusia dan Lingkungan
Limbah rumah tangga terdiri dua bagian, yaitu limbah organik dan nonorganik. Limbah organik dapat terurai sehingga lebur menjadi tanah, sementara limbah nonorganik tidak dapat terurai. Di sisi lain limbah merupakan persoalan masyarakat yang sulit diselesaikan, maka kerja sama masyarakat, pemerintah,  dan ilmuan diperlukan untuk  mengatasinya, yang diharapkan limbah ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Misalnya, limbah organik dapat dimanfaatkan untuk menjadi pupuk dan limbah non-organik seperti  limbah plastik dapat didaur ulang menjadi benda yang dapat dimanfaatkan kembali.    Di sini ada beberapa ilmu yang harus berintegrasi . Pertama, ilmu lingkungan, kedua ilmu tanah, ketiga ilmu kimia, keempat ilmu biologi.
Sebagai tambahan, aspek interdisiplinarity terhadap masalah-masalah lingkungan biasanya dipahami sebagai suatu kepentingan bagi para ilmuwan dari disiplin yang berbeda untuk bekerja sama untuk mengcover fenomena ekologi yang kompleks. Sebaliknya, transdisiplinarity memerlukan ilmuwan yang tidak hanya bekerja sama dengan koleganya disiplin yang lain tetapi juga dengan pembuat keputusan dan stakeholders yang relevant.
3.    Dalam Kuliner dan Gizi
Seorang  chef (juru masak) , untuk menjadi chef yang profesional maka dia harus menguasai trandisipliner ilmu tata boga dan ilmu gizi karena suatu masakan selain harus memenuhi selera dan penyajian yang menarik juga harus memenuhi syarat gizi. Oleh karena itu seorang chef pun harus juga mempelajari masalah gizi.
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam ajang pertarungan unjuk masak, umumnya kriteria masakan yang disajikan akan mensyaratkan pula pemenuhan gizinya di samping rasa dan kreatifitas penyajiannya. Oleh karena itu, lomba masak bergizi akan selalu mendatangkan seorang ahli gizi untuk mencatat nilai gizinya.
4.    Dalam Neurosains dan Kesadaran
   Pendekatan transdisiplinaritas yang dilakukan oleh Edelman dan Changeux. Edelman berupaya memahami "kesadaran (consciousness)" dari perspektif neuroscience (teori tentang otak) dan psikologi. Sementara Changeux, lengkapnya Pierre Jean Changeux (Prancis), mencoba memahami tentang capable person (katakanlah orang yang mengenal jati dirinya dan perannya dalam dunia ini) dilihat dari perspektif neuroscience (teori tentang otak), sosial budaya, etika, dan agama.
Hasil Penelitian Edelman
Beberapa temuan Edelman yang menggunakan pendekatan transdisiplinaritas adalah sebagai berikut:
1.    Kesadaran merupakan fenomena kompleks dalam persinggungan antara biologi dan psikologi.
Teknologi MRI dan MEG, membantu Edelman menemukan teori bahwa antara biologi dan psikologi dalam konteks terjadinya “consciousness” bukanlah sesuatu yang terpisah, tapi saling overlap, saling berdamai, saling sinergi kasualitas timbal balik yang menyatukan keduanya walaupun memang keduanya berbeda.
2. Otak Bukanlah Mesin Otomatis
Otak manusia, bukanlah sistem yang sudah given (predetermined), tetapi memiliki kapasitas bawaan untuk selalu berubah sesuai dengan pengalaman dan interaksi dengan lingkungan psikologis dan sosial.
3.    Konteks adalah Segalanya.
Keadaan seperti tidur, bangun, sadar, tidak sadar, merupakan hasil dari interaksi dinamis khusus yang terjadi pada titik dimana fungsi otak, sistem memori, informasi terkiat dengan konteks bertemu. Pengalaman kesadaran merupakan proses dinamik bukan suatu benda dalam dirinya.
4. Kesadaran sebagai Suatu Kondisi dari Organisasi Saraf .
Tantangan penelitian neurosains adalah menjembatani gap antara ilmu alam dengan humaniora. Penelitian Edelman menunjukkan bahwa studi tentang kesadaran dewasan ini telah merupakan irisan antara ilmu neurobiologi, humaniora dan ilmu sosial.
Hasil Penelitian Jean-Pierre Changeux
Changeux mencoba memahami tentang kesatuan, perbedaan, dan diri sebagai orang lain. Fokus studinya adalah maslah capable person yang saya terjemahkan sebagai orang yang mengenal betul dirinya dan pernanya dalam dunia. Beberapa hasil studinya adalah sebagai berikut:
1.    Perkembangan sistem saraf terjadi dalam konteks lintasan individu dan dalam interaksi dengan konteks fisik dan sosial budaya.
2.    Kerumitan otak manusia, yang menyatukan pengetahuan tentang mekanisme genetika merupakan hasil interaksi yang konstruktif dengan nilai-nilai keragaman etnis dan budaya [Changeux, 2003].
3.    Konsep diri atau kesadaran diri bukan sesuatu yang diperoleh langsung (immediate given). Tapi, terbangun melalui mediasi dengan orang lain. Capable person adalah produk dari kesleuruhan masa hidup sejak lahir sampai mati, sesuai dengan perannya dalam dunia sosial dan budaya.

VIII.       Penutup
Begitulah kira-kira peran pendekatan transdisiplinaritas dalam upaya memahami suatu isu yang dalam realitanya kompleks alias saling terkait dilihat dari berbagai perspektif. Dengan pendekatan transdisiplin, kita berupaya memahami suatu hal secara utuh dan komprehensif.
Jelasnya, transdisiplinaritas merupakan suatu pendekatan yang tidak hanya berseberangan dengan batasan disiplin tetapi juga berintegrasi dengan partisipan-partisipan akademik dan non-akademik dalam proses penelitian. Lebih jauh lagi, transdisiplinaritas merupakan suatu campuran yang menggabungkan pembelajaran, penelitian, dan aplikasi yang digunakan untuk mempelajari kealian dan kompetensi untuk kepentingan penelitian yang berkelanjutan.
                                                                                           
DAFTAR PUSTAKA

Cerovac, Kresimir. 2009. Dialogue between Religion and Science as the Imperative of Time. Published 2009.05.27  1616 Walnut Street, Suite 1112, Philadelphia, PA 19103 USA. Diunduh tanggal 19 Oktober 2010

Chaeruman, Uwes A. 2010. Transdisiplinarity: Apakah Gerangan? on: September28th,2010.fakultasluarkampus.net/.../uwes_transdisciplinarity_definisi_-dan_contoh_studi.pdf. Diunduh tanggal 19 Oktober 2010

Gidley, Jennifer M. 2008. Evolving Education: A Postformal-integral-planetary Gaze at the Evolution of Consciousness and the Educational Imperatives. A thesis. Submitted for the degree of Doctor of Philosophy School of Education. Southern Cross University./evolving education-a postformal-integral-planetary gaze at the e. pdf./  Diunduh tanggal 19 Oktober 2010

Gye, Lisa. 2006. Realtime 73 Issue. June-July 2006 pg. 10, www.gsdi.org/gsdi11/slides/fri/7.2b.pdf Diunduh tanggal 19 Oktober 2010.

Hendrick, 2009. Complexity Theory and Conflict Transformation: An Exploration of Potential and Implications.

Rofougaran, Nicolas L. Rofougaran and Herman A. Karl. 2005. San Francisquito Creek-The Problem of Science in Environmental Disputes: Joint Fact Finding as a Transdisciplinarity Approach toward Environmental Policy Making. Virginia. web.mit.edu/dusp/epp/music/pdf/pp1710.pdf. Diunduh tanggal 19 Oktober 2010

Semiawan, Conny. 2008. Panorama Filsafat Ilmu. Bandung: Teraju Mizan

Wikipedia This page was last modified on 14 September 2010 at 14:19. Diunduh tanggal 19 Oktober 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar