Arsip Blog

Sabtu, 28 Mei 2011

TERJEMAHAN HARFIAH


Penerjemahan literal (literal translation) atau disebut juga penerjemahan lurus (linier translation) berada diantara  penerjemahan kata demi kata dan penerjemahan bebas (free translationi). Dalam proses penerjemahannya, penerjemah mencari konstruksi gramatikan BSu yang sepadan atau dekat dengan Bsa. Penerjemahan literal ini terlepas dari konteks. Penerjemahan ini mula – mula dilakukan  seperti penerjemahan kata demi kata, tetapi penerjemah kemudian menyesuaikan susunan kata-katanya sesuai dengan gramatikal BSa.
Penerjemahan literal merupakan salah satu teknik yang digunakan dalam proses terjemah. Teknik ini mencoba menterjemahkan sebuah kata atau ungkapan kata  perkata. “ Literal translations is to translate a word or an expression word for word” (Hurtado Albir: 2001). Yang dimaksud Molina dan Hurtado Albir dengan kata demi kata pada definisi ini, bukan berarti  menerjemahkan satu akta untuk kata yang lainnya, tetapi lebih cenderung kepada menerjemahkan kata demikata berdasarkan fungsi dan maknanya dalam tataran kalimat.
Dilihat dari jauh dekatnya terjemahan dari bahasa sumber dan bahasa sasaran, terjemah dapat diklasifikasikan ke dalam delapan jenis. Kedelapan jenis terjemahan tersebut dapat dikategorisasikan dalam dua bagian besar. Pertama, terjemahan yang lebih berorientasi pada bahasa sumber, dalam hal ini penerjemah berupaya mewujudkan kembali dengan setepat-tepatnya makna kontekstual penulis, meskipun dijumpai hambatan sintaksis dan semantik yakni hambatan bentuk dan makna. Kedua, terjemahan yang lebih berorientasi pada bahasa sasaran. Dalam hal ini penerjemah berupaya menghasilkan dampak yang relatif sama dengan yang diharapkan oleh penulis asli terhadap pembaca versi bahasa sasaran.
Dilihat dari orientasinya terhadap bahasa sumber, terjemahan dapat diklasifikasikan:
1)  Terjemahan kata demi kata (word for word translation). Penerjemahan jenis ini dianggap yang paling dekat dengan bahasa sumber. Urutan kata dalam teks bahasa sumber tetap dipertahankan, kata-kata diterjemahkan menurut makna dasarnya diluar konteks. Kata-kata yang bermuatan budaya diterjemahkan secara harfiah. Terjemahan kata demi kata berguna untuk memahami mekanisme bahasa sumber atau untuk menafsirkan teks yang sulit sebagai proses awal penerjemahan.
2) Terjemahan Harfiah (literal translation) atau sering juga disebut terjemahan struktural. Dalam terjemahan ini konstruksi gramatikal bahasa sumber dikonversikan ke dalam padanannya dalam bahasa sasaran, sedangkan kata-kata diterjemahkan di luar konteks. Sebagaimana proses penerjemahan awal terjemah harfiah ini dapat membantu melihat masalah yang perlu diatasi.
3) Terjemahan setia (faithful translation). Terjemahan ini mencoba menghasilkan kembali makna kontekstual walaupun masih terikat oleh struktur gramatikal bahasa sumber. Ia berpengang teguh pada tujuan dan maksud bahasa sumber sehingga terkesan kaku. Terjemahan ini bermanfaat sebagai proses awal tahap pengalihan.
4) Terjamahan semantis (semantic teranslation). Berbeda dengan terjemahan setia. Terjemahan semantis lebih memperhitungkan unsur estetika teks bahasa sumber, sdan kreatif dalam batas kewajaran. Selain itu terjemahan setia sifatnya masih terkait dengan bahasa sumber, sedangkan penerjemahan semantis lebih fleksibel. Apabila ungkapan pasemon (kinayah) di atas terjemahan secara semantis, maka hasil terjemahnanya adalah 'dia laki-laki adalah seorang pemberani, terhormat dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya, dan seorang dwermawan' (Murtdho, 1999). 
Klasifikasi terjemahan yang berorientasi pada bahasa sasaran yaitu:
1) Terjemahan adaptasi (adaptation). Terjemahan inilah yang dianggap paling bebas dan palingdekat kebahasaan sasaran. Terutama untuk jenis terjemahan drama dan puisi, tema, karakter dan alur biasanya dipertahankan. Dalam karangan ilmiah logikanya diutamakan, sedangkan contok dikurangi atau ditiadakan.
2) Terjemahan bebas (free trantation). Penerjemahan bebas adalah penulisan kembali tanpa melihat tanpa aslinya. Biasanya merupakan parafrase yang dapat lebih pendek atau lebih panjang dari aslinya.   
3) Terjemahan idiomatiuk (idiomatic translation). Dalam terjemahan jenis ini pesan bvahasa sumber disampaikan kembali tetapi ada penyimpangan nuansa makan karena mengutamakan kosa kata sehari-hari dan idiom dan tidak ada di dalam bahasa sumber tetapi bisa dipakai dalam bahasa sasaran.
4) Terjemahan komunikatif (communicative translation). Terjermahan ini berusaha menyampaikan makna kontekstual dari bahasa sumber sedemikian rupa, sehingga isiu dan bahasanya berterima dan dapat dipahami oleh dunia pembaca bahasa sasaran. Terjemahan ini biasanya dianggap terjemahan yang ideal.
Selain pengertian di atas, juga terdapat beberapa pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli dibidang bahasa, antara lain yaitu Catford (1965), menggunakan pendekatan kebahasaan dalam melihat kegiatan penerjemahan dan ia mendefinisikan terjemah yaitu “mengganti bahan teks dalam bahasa sumber dengan bahan teks yang sepadan dalam bahasa sasaran”. Selain Catford,  Newmark (1988) juga memberikan definisi serupa, namun lebih jelas lagi. Menurutnya terjemah yaitu: “menerjemahkan makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan yang dimaksudkan pengarang.” Sedangkan Ibnu Burdah mendefinisikan terjemah dengan sangat sederhana sebagai “usaha memindahkan pesan dari teks berbahasa Arab (teks sumber) dengan padanannya ke dalam bahasa Indonesia (bahasa sasaran).”
Di kalangan bangsa Arab terdapat dua aliran penerjemahan sebagaimana yang disebut oleh as-Shafadi, Aliran pertama, ialah aliran yang dianut Johanes Patriarch, Ibnu Na’imah al-Himshiy dan lainnya. Aliran ini memusatkan pandangan untuk mencari padanan setiap kata Yunani beserta kandungan maknaknya dari kata-kata Arab. Cara ini kurang baik disebabkan dua hal: pertama, tidak semua kata-kata Yunani terdapat padanannya dalam kosa kata bahasa Arab. Kedua, adanya perbedaan ciri-ciri susunan sintaksis antara satu bahasa dengan bahasa lain.
Aliran kedua, adalah cara yang dianut oleh Hunain bin Ishaq, Al-Jauhari dan lain-lainnya. Aliran ini berpokok pangkal kepada penguasaan seorang penterjemah terhadap konsep yang dikandung kalimat, kemudian ia mengungkapkan konsep tersebut dengan kalimat yang seimbang.
Dari dua aliran yang di ungkapkan oleh Al-Hasan Azzayat di atas, akhirnya melahirkan dua metode penerjemahan secara garis besar, sebagaimana yang diungkap oleh beberapa ahli. Dua metode tersebut, yaitu terjemahan harfiah dan terjemahan bebas.
Muhammad Mansur dan Kustiwan merumuskan metode terjemahan dalam dua bagian besar, yaitu terjemahan harfiah dan terjemahan Maknawiyah (Hurtado Albir: 2001 )“Terjemahan harfiah ialah terjemahan yang memperhatikan peniruan teks asli dalam jumlah kata, susunan dan urutannya. Jadi, terjemahan harfiah mirip dengan menyusun kata-kat di tempat padanannya.”
Terjemahan maknawiyah (bebas), yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain sambil memperhatikan kesepadanan makna dan maksud bahasa asal serta kenetralan redaksi, sekirannya cukup dengan terjemahan yang seolah-olah bukan terjemahan.
Terjemahan tafsiriyyah atau terjemahan maknawiyyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnaya.
Sedangkan Newmark (1988) juga mengajukan dua metode penerjemahan, yaitu (1) metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa sumber (BSu); (2) metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa sasaran (BSa). walaupun kemudian, Newmark menjelaskannya menjadi delapan metode penerjemahan, yaitu penerjemahan kata-demi-kata, Penerjemahn harfiah, penerjemahan setia, penerjemahan semantik, penerjemahan adaptasi (saduran), Penerjemahan bebas, penerjemahan idiomatik dan penerjemahan komunikatif.
Dari beberapa definisi tentang metode penerjemahan yang diungkapkan di atas, penulis merasa perlu untuk mejelaskan kedua metode tersebut, agar lebih jelas serta mudah dipahami.
Terjemahan harfiyah, melingkupi terjemahan-terjemahan yang sangat setia terhadap teks sumber. Kesetiaan biasanya digambarkan oleh ketaatan penerjemah terhadap aspek tata bahasa teks sumber, seperti urutan-urutan bahasa, bentuk frase, bentuk kalimat dan sebagainya. Akibat yang sering muncul dari terjemahan ini adalah, hasil terjemahannya menjadi saklek dan kaku karena penerjemah memaksakan aturan-aturan tata bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Padahal, keduanya memiliki perbedaan yang mendasar.
Metode terjemahan ini sangat populer dipraktekan di Eropa pada abad pertengahan dan berkembang secara meluas, terutama sekali pada naskah yang dianggap sakral; kitab-kitab suci sebagai suara yang diwahyukan Tuhan. Terjemahan ini pula sampai sekarang masih dilakukan terhadap Kitab Suci, misalnya Injil dan Al-Qur’an.
Adapun yang dimaksud dengan terjemahan bebas (Tafsiriyyah), bukan berarti seorang penerjemah boleh menerjemahkan sekehendak hatinya, sehingga esensi terjemahan itu sendiri hilang. Bebas di sini berarti seorang penerjemah dalam menjalankan misinya tidak terlalu terikat oleh bentuk maupun struktur kalimat yang terdapat pada naskah yang berbahasa sumber. Ia boleh melakukan modifikasi kalimat dengan tujuan agar pesan atau maksud penulis naskah mudah dimengerti secara jelas oleh pembacanya. Berdasarkan paparan di atas berikut ini penulis memfokuskan bahasan makalah ini tentang terjemahan harfiah yang diambil dari sumber utama: A Textbook of Translation, Chapter 7 oleh Peter Newmark.

Sabtu, 30 April 2011

Mati Sebelum Mati


*Sebelum mata terpejam dan sebelum ia dirapatkan dalam satu kedipan,*
*dalam sekedipan, *
*kita akan dipanggil pulang ke haribaan kaki kasih Tuhan *

*sebagai atom di dalam atom di dalam atom.*
*Dia akan memanggil kita dengan kelembutan yang tak terlukiskan.*
*Bagaimana mungkin kita bisa *
*melukiskan kelembutan panggilan paripurnaNya!*
*Bagaimana mungkin kita bisa melukiskan *
*keajaiban cara Ia mengirimkan seruan seruan penghabisan!*
* *
*Dia jadikan hidup kita tumbuh dan tumbuh dan tumbuh *
*ketika hari hari berlalu dan ketika hari hari melaju.*
*Hidup kita ini tiada memiliki kebaikan sama sekali *
*hingga akhirnya menyebabkan kesusahan dan siksaan.*
*Tawa dan bahagia, nestapa dan derita dalam hidup kita, *
*kebaikan dan keburukan memutus ikatan ikatan darah.*
*Seluruh kesusahan datang menautkan diri dengan kelahiran kita ini.*
*Seluruh kesusahan dan derita kita terkumpul di dalam diri, *
*menjadikan hidup kita siksaan dan rintihan *
*dengan air mata, ratapan dan tawa.*
*Namun setelah tumbuh melalui cara ini, *
*bahkan hingga akhirnya kita tak dapat lagi melakukan apa apa. *
*Di kala kematian datang memanggil kita, *
*ketika ia mengatakan "Datanglah" *
*dan merenggut kita dalam sedetik, *
*ketika ia memberikan seruan itu *
*begitu lembut, menusuk sangat cepat, *
*kita tetap tak menyadari hal ini!*
*Kita percaya bahwa dunia ini sangat luas, *
*memikirkan segala pemikiran yang tak terpikirkan
*
*bahwa dunia ini milik kita, *
*bahwa ia adalah sebuah perbendaharaan.*
* *
*Menyerah pada semua yang kita kumpulkan *
*melemparnya ke jalan, *
*menangis dan berada dalam kesusahan yang memilukan.*
*Kita harus membuka mulut dan menyeru Bapak kita, *
*bersujud di bawah kakiNya *
*dan menuju ke arahNya. *
*kemudian Dia akan menyeru kita.*
* *
*Melupakan segala dan hanya mengingatNya *
*kita harus menuju ke arahNya.*
*Pada hari itu segala kesusahan kita akan sirna.*
*Kemudian kebahagiaan dan keagungan Tuhan*
*dan cintaNya akan datang memeluk kita.*
* *
*Mengantarkan kepada kita kedamaian dan ketenangan.*
*Pada hari itu Ia akan datang dan memeluk kita*
*dan itulah kedamaian senyatanya.*
* *
*Seluruh keadaan yang ada selanjutnya*
*semua yang kita kumpulkan,*
*segala yang kita simpan, kita gunakan*
*hanyalah bungkusan dosa semata.*
*Kejahatan dan dosa yang telah kita kumpulkan,*
*segala yang kita kumpulkan dengan kebodohan *
*semata kantong kantong dan bungkusan bungkusan kejahatan.*
* *
*Jika kita mampu membuang seluruh bungkusan  *
*kebodohan yang kita kumpulkan, *
*jika kita mampu mengenyahkan semua kejahatan, *
*jika kita mampu mencari kaki Tuhan, *
*Tuhan Yang Esa, Yang Esa dengan Cinta, *
*padaNya kita harus menambatkan keyakinan dan kepercayaan.*
*Jika kita mampu bersujud di bawah kakiNya, *
*berserah diri dan tunduk, *
*maka kita akan memiliki kedamaian dan ketenangan.*
*Itulah keadilan dan kebenaran *
*ketika keyakinan dan penghambaan bersemayam *
*di dalam diri kita dan percaya pada Tuhan*
*Yang Maha Kuasa, Yang Maha Melingkupi.*
*Maka kita akan berada dalam kedamaian *
*dan ketenangan bagi seluruh kehidupan.*
* *
*Kita harus senantiasa hidup dengan keimanan *
*pada Tuhan Yang Maha Esa .*
*Wahai anakku, kita harus hidup *
*dalam keyakinan itu selamanya.*
*Bagai pohon yang menghasilkan buah yang matang, *
*berbagi buahnya kepada setiap orang.*
*Segala yang kita kumpulkan dalam kehidupan *
*harus kita bagi.*
*Segala yang kita kumpulkan, *
*semua keuntungan yang kita dapatkan dalam kehidupan, *
*hati ini harus berbagi dengan setiap orang.*
*Seperti pohon berbagi buahnya yang matang.*
*Maka kita akan memiliki kedamaian dan ketenangan.*
*Ketika pohon memberikan buahnya, *
*ia tahu apa itu kedamaian.*
*Dan jika pikiran kita memberikan segala yang dimilikinya *
*maka ia pun akan mengetahui kedamaian *
*marilah kita temukan keseimbangan *
*yang akan menjadi jalan terbaik bagi kehidupan, *
*akan menjadi yang terbaik bagi kita *
*Amin. Amin.*
* *

PEMERTAHANAN BAHASA

A. Konsep Pemertahanan Bahasa
Di atas telah dijelaskan bahwa pergeseran bahasa terjadi perpindahan penduduk, ekonomi, sekolah. Akan tetapi, terdapat pula masyarakat yang tetap mempertahankan bahasa pertamanya dalam berinteraksi dengan sesama mereka meskipun mereka adalah masyarakat minoritas.
Dalam pemertahanan bahasa, komunitas secara kolektif memutuskan untuk terus menggunakan bahasa tersebut atau bahasa itu telah digunakan secara tradisional. Ketika sebuah komunitas tutur mulai memilih bahasa baru dalam daerah sebelumnya dicadangkan untuk yang lama, ini mungkin merupakan tanda bahwa pergeseran bahasa sedang berlangsung. Jika anggota komunitas tutur adalah monolingual dan tidak memperoleh bahasa lain secara kolektif, maka mereka jelas mempertahankan pola penggunaan bahasa mereka. Pemertahanan, bagaimanapun, sering merupakan karakteristik dari komunitas dwi bahasa atau  juga multi bahasa. Hal ini hanya terjadi ketika komunitas mengalami diglossic. Dalam kata lain adalah bahwa komunitas multibahasa bahasa-bahasa menjaga setiap cadangan untuk daerah tertentu dengan perambahan sangat sedikit monolingual di daerah yang lain (Fasol).
Pemertahanan bahasa (language maintenance) berkaitan dengan masalah sikap atau penilaian terhadap suatu bahasa, untuk tetap menggunakan bahasa tersebut di tengah-tengah bahasa lainnya. Kridalaksana mengartikan “usaha agar suatu bahasa tetap dipakai dan dihargai, terutama sebagai identitas kelompok, dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan melalui pengajaran, kesusastraan, media massa, dan lain-lain.
Pergeseran bahasa secara sederhana berarti bahwa komunitas memberikan sebuah bahasa tempat yang lebih baik dibandingkan yang lain. Anggota komunitas, ketika pergeseran telah terjadi, telah memilih bahasa baru dimana yang lama tidak lagi digunakan (Fasold).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sumarsono tentang penggunaan bahasa Melayu Loloan yang digunakan di desa Lolan, Bali. Mereka dapat bertahan karena hal-hal sebagai berikut: (1) wilayah yang terpisah dari wilayah pemukiman mayoritas Bali, (2) adanya toleransi dari masyarakat mayoritas Bali yang mau menggunakan bahasa Melayu Loloan dalam berinteraksi dengan golongan minoritas, (3) anggota masyarakat Loloan mempunyai sikap Keislaman tidak akomodatif terhadap masyarakat, (4) adanya loyalitas tinggi dari anggota masyarakat Loloan terhadap bahasa Melayu Loloan sebagai konsekuensi kedudukan atau status bahasa ini yang menjadi lambang identitas diri masyarakat Loloan yang beragama Islam, (5) adanya kesinambungan pengalihan bahasa Melayu Loloan dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya.
Pemeliharaan bahasa, di sisi lain, merujuk kepada situasi dimana komunitas penutur, dibawah keadaan yang mendukung terjadinya pergeseran bahasa, tetap berpegang pada bahasa tersebut. Contohnya, penyebaran bahasa Korea kepada generasi selanjutnya di Korea Selatan bukan merupakan hasil dari pemeliharaan bahasa, tetapi di Jepang, yang mempunyai minoritas orang Korea sekitar 600.000 orang, itu merupakan pemeliharaan bahasa (Maher dan Kawanishi 1995). Tidak ada kontak bahasa di Korea Utara yang dapat mengakibatkan pergeseran bahasa, tetapi di Jepang, orang Korea melakukan kontak langsung dengan orang Jepang, secara virtual semua orang tersebut menggunakan dwi bahasa. Joshua Fishman, yang lebih dari siapapun meletakkan dasar untuk investigasi ilmiah mengenai pergeseran bahasa, menyatakan arah umum riset tersebut: 
Studi mengenai pemeliharaan bahasa dan pergeseran bahasa berhubungan dengan hubungan antara perubahan dan stabilitas dalam kebiasaan penggunaan bahasa, di satu sisi, dan proses psikologi, sosial, dan budaya yang terus menerus, di sisi lain, ketika populasi yang berbeda bahasa berhubungan satu sama lain (Fishman 1964: 32)

Minggu, 24 April 2011

HATI-HATILAH BERSUMPAH


Sumpah dalam Islam ada 4 (2 berkifarat, 2 tidak berkifarat):
Berkifarat/ Kafarat:
1.     Seorang bersumpah (demi Allah saya tdk akan kerumah si fulan (padahal itu adalah ibunya), jika ibunya memanggil dan tidak datang maka ia durhaka, maka ia datangi ibunya tetapi ia bayar kafarat)
2.     Ia bersumpah demi Allah jika saya mempunyai uang 1 juta akan saya belikan mobil, tetapi setelah dapat uang tidak ia berikan, maka segera cabut sumpahnya dan bayar kifaratnya.
Kifaratnya (Cara membebaskan sumpah):
-         Member makan 10 orang miskin (syaratnya 10 orang miskin itu senang dan mereka merasa itu bermanfaat, jika tidak, maka kifaratnya batal dan harus diulang),  atau
-         Memerdekakan 1 orang budak, atau Puasa 3 hari (harus berturut-turut)  
Catatan:
Buat orang miskin 1 sho (3 gantang beras) untuk 10 orang atau pakaian (seharga yg biasa dipakai) untu 10 orang, atau memerdekakan 1 orang budak muslim,
Jika kifarat-kifarat itu belum bisa dilaksanakan maka wajib baginya puasa 3 hari berturut-turut (harinya bebas)

M A R T A B A T 7


Takhalli, Tahalli, dan Tajalli
 Manusia dilengkapi oleh Allah dua hal pokok, yaitu jasmani dan rohani. Dua hal ini memiliki keperluan masing-masing. Jasmani membutuhkan makan, minum, pelampiasan syahwat, keindahan, pakaian, perhiasan-perhiasan dan kemasyhuran. Rohani, pada sisi lain, membutuhkan kedamaian, ketenteraman, kasih-sayang dan cinta.
Para sufi menegaskan bahwa hakekat sesungguhnya manusia adalah rohaninya. Ia adalah muara segala kebajikan. Kebahagiaan badani sangat tergantung pada kebahagiaan rohani. Sedang, kebahagiaan rohani tidak terikat pada wujud luar jasmani manusia. Sebagai inti hidup, rohani harus ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi. Semakin tinggi rohani diletakkan, kedudukan manusia akan semakin agung. Jika rohani berada pada tempat rendah, hina pulalah hidup manusia. Fitrah rohani adalah kemuliaan, jasmani pada kerendahan. Badan yang tidak memiliki rohani tinggi, akan selalu menuntut pemenuhan kebutuhan-kebutuhan rendah hewani. Rohani hendaknya dibebaskan dari ikatan keinginan hewani, yaitu kecintaan pada pemenuhan syahwat dan keduniaan. Hati manusia yang terpenuhi dengan cinta pada dunia, akan melahirkan kegelisahan dan kebimbangan yang tidak berujung. Hati adalah cerminan ruh. Kebutuhan ruh akan cinta bukan untuk dipenuhi dengan kesibukan pada dunia. Ia harus bersih.
Dalam rangkaian metode pembersihan hati, para sufi menetapkan dengan tiga tahap : Takhalli, Tahalli, dan Tajalli.

Jumat, 22 April 2011

PERGESERAN BAHASA

A. Konsep Pergeseran Bahasa
Pergeseran bahasa, didefinisikan oleh Weinreich (1953: 68) sebagai penggantian suatu bahasa oleh bahasa lain secara berangsur-angsur, karena akibat dari kontak bahasa dalam situasi imigrasi.
Saat dilahirkan ke dunia ini, manusia mulai belajar bahasa. Sedikit demi sedikit, bahasa yang dipelajari olehnya sejak kecil semakin dikuasainya sehingga jadilah bahasa yang ia pelajari sejak kecil itu sebagai bahasa pertamanya. Dengan bahasa yang dikuasai olehnya itulah, ia berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya.
Beranjak remaja, ia sudah menguasai lebih dua atau lebih bahasa. Semua itu ia peroleh ketika berinteraksi dengan masyarakat atau ketika di bangku sekolah. Hal ini menyebabkan ia menjadi dwibahasawan atau multibahasawan. Ketika menjadi dwibahasawan atau multibahasawan,  ia dihadapkan pada pertanyaan, yaitu manakah di antara bahasa yang ia kuasai merupakan bahasa yang paling penting? Di saat-saat seperti inilah terjadinya proses pergeseran bahasa, yaitu menempatkan sebuah bahasa menjadi lebih penting di antara bahasa-bahasa yang ia kuasai.

PERUBAHAN BAHASA


Makalah ini membahas tiga seri topik sosiolinguistik yaitu perubahan, pergeseran, dan pemertahanan bahasa. Pembahasa tiga topik sosiolinguistik secara bersamaan karena ketiganya memiliki keterkaitan satu sama lain.
Konsep perubahan misalnya yang dikemukakan pada awal pembahasan, menguraikan tentang mengungkap kembali sebuah pertanyaan lama dalam ranah sosiolinguistik, yakni, dapatkah perubahan linguistik diamati? Dan pertanyaan ini sebenarnya sudah dijawab oleh Saussure (1959) dan Bloomfield (1933), bahwa perubahan bahasa tidak dapat diamati, yang mungkin diharapkan dapat amati adalah konsekuensi perubahan itu sendiri.
Banyak alasan sosial yang berbeda untuk memilih kode khusus atau variasi dalam komunitas lintas bahasa. Tetapi pilihan apa bagi mereka yang berbicara dengan bahasa yang kurang  digunakan, di mana orang yang berkuasa menggunakan bahasa dunia seperti bahasa Inggris? Bagaimana faktor politik dan ekonomi mempengaruhi pilihan-pilihan bahasa mereka? Bagian ini akan membahas (1) hambatan dalam melakukan pilihan bahasa yang dihadapi oleh komunitas berbeda, (2)  dampak-dampak yang ditimbulkan dari pergeseran bahasa yang dalam waktu lama dapat terjadinya perubahan atau  lenyapnya bahasa, (3) upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan dalam rangka pemertahanan bahasa, akan dibahas dalam bagian ini.  
 I. Perubahan Bahasa 
A. Konsep Perubahan Bahasa
Perubahan bahasa berkenaan dengan perubahan bahasa sebagai kode, sesuai dengan sifatnya yang dinamis, dan sebagai akibat persentuhan dengan kode-kode lain, bahasa itu bisa berubah.