Penerjemahan literal merupakan salah satu teknik yang digunakan dalam proses terjemah. Teknik ini mencoba menterjemahkan sebuah kata atau ungkapan kata perkata. “ Literal translations is to translate a word or an expression word for word” (Hurtado Albir: 2001). Yang dimaksud Molina dan Hurtado Albir dengan kata demi kata pada definisi ini, bukan berarti menerjemahkan satu akta untuk kata yang lainnya, tetapi lebih cenderung kepada menerjemahkan kata demikata berdasarkan fungsi dan maknanya dalam tataran kalimat.
Dilihat dari jauh dekatnya terjemahan dari bahasa sumber dan bahasa sasaran, terjemah dapat diklasifikasikan ke dalam delapan jenis. Kedelapan jenis terjemahan tersebut dapat dikategorisasikan dalam dua bagian besar. Pertama, terjemahan yang lebih berorientasi pada bahasa sumber, dalam hal ini penerjemah berupaya mewujudkan kembali dengan setepat-tepatnya makna kontekstual penulis, meskipun dijumpai hambatan sintaksis dan semantik yakni hambatan bentuk dan makna. Kedua, terjemahan yang lebih berorientasi pada bahasa sasaran. Dalam hal ini penerjemah berupaya menghasilkan dampak yang relatif sama dengan yang diharapkan oleh penulis asli terhadap pembaca versi bahasa sasaran.
Dilihat dari orientasinya terhadap bahasa sumber, terjemahan dapat diklasifikasikan:
1) Terjemahan kata demi kata (word for word translation). Penerjemahan jenis ini dianggap yang paling dekat dengan bahasa sumber. Urutan kata dalam teks bahasa sumber tetap dipertahankan, kata-kata diterjemahkan menurut makna dasarnya diluar konteks. Kata-kata yang bermuatan budaya diterjemahkan secara harfiah. Terjemahan kata demi kata berguna untuk memahami mekanisme bahasa sumber atau untuk menafsirkan teks yang sulit sebagai proses awal penerjemahan.
2) Terjemahan Harfiah (literal translation) atau sering juga disebut terjemahan struktural. Dalam terjemahan ini konstruksi gramatikal bahasa sumber dikonversikan ke dalam padanannya dalam bahasa sasaran, sedangkan kata-kata diterjemahkan di luar konteks. Sebagaimana proses penerjemahan awal terjemah harfiah ini dapat membantu melihat masalah yang perlu diatasi.
3) Terjemahan setia (faithful translation). Terjemahan ini mencoba menghasilkan kembali makna kontekstual walaupun masih terikat oleh struktur gramatikal bahasa sumber. Ia berpengang teguh pada tujuan dan maksud bahasa sumber sehingga terkesan kaku. Terjemahan ini bermanfaat sebagai proses awal tahap pengalihan.
4) Terjamahan semantis (semantic teranslation). Berbeda dengan terjemahan setia. Terjemahan semantis lebih memperhitungkan unsur estetika teks bahasa sumber, sdan kreatif dalam batas kewajaran. Selain itu terjemahan setia sifatnya masih terkait dengan bahasa sumber, sedangkan penerjemahan semantis lebih fleksibel. Apabila ungkapan pasemon (kinayah) di atas terjemahan secara semantis, maka hasil terjemahnanya adalah 'dia laki-laki adalah seorang pemberani, terhormat dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya, dan seorang dwermawan' (Murtdho, 1999).
Klasifikasi terjemahan yang berorientasi pada bahasa sasaran yaitu:
1) Terjemahan adaptasi (adaptation). Terjemahan inilah yang dianggap paling bebas dan palingdekat kebahasaan sasaran. Terutama untuk jenis terjemahan drama dan puisi, tema, karakter dan alur biasanya dipertahankan. Dalam karangan ilmiah logikanya diutamakan, sedangkan contok dikurangi atau ditiadakan.
2) Terjemahan bebas (free trantation). Penerjemahan bebas adalah penulisan kembali tanpa melihat tanpa aslinya. Biasanya merupakan parafrase yang dapat lebih pendek atau lebih panjang dari aslinya.
3) Terjemahan idiomatiuk (idiomatic translation). Dalam terjemahan jenis ini pesan bvahasa sumber disampaikan kembali tetapi ada penyimpangan nuansa makan karena mengutamakan kosa kata sehari-hari dan idiom dan tidak ada di dalam bahasa sumber tetapi bisa dipakai dalam bahasa sasaran.
4) Terjemahan komunikatif (communicative translation). Terjermahan ini berusaha menyampaikan makna kontekstual dari bahasa sumber sedemikian rupa, sehingga isiu dan bahasanya berterima dan dapat dipahami oleh dunia pembaca bahasa sasaran. Terjemahan ini biasanya dianggap terjemahan yang ideal.
Selain pengertian di atas, juga terdapat beberapa pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli dibidang bahasa, antara lain yaitu Catford (1965), menggunakan pendekatan kebahasaan dalam melihat kegiatan penerjemahan dan ia mendefinisikan terjemah yaitu “mengganti bahan teks dalam bahasa sumber dengan bahan teks yang sepadan dalam bahasa sasaran”. Selain Catford, Newmark (1988) juga memberikan definisi serupa, namun lebih jelas lagi. Menurutnya terjemah yaitu: “menerjemahkan makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan yang dimaksudkan pengarang.” Sedangkan Ibnu Burdah mendefinisikan terjemah dengan sangat sederhana sebagai “usaha memindahkan pesan dari teks berbahasa Arab (teks sumber) dengan padanannya ke dalam bahasa Indonesia (bahasa sasaran).”
Di kalangan bangsa Arab terdapat dua aliran penerjemahan sebagaimana yang disebut oleh as-Shafadi, Aliran pertama, ialah aliran yang dianut Johanes Patriarch, Ibnu Na’imah al-Himshiy dan lainnya. Aliran ini memusatkan pandangan untuk mencari padanan setiap kata Yunani beserta kandungan maknaknya dari kata-kata Arab. Cara ini kurang baik disebabkan dua hal: pertama, tidak semua kata-kata Yunani terdapat padanannya dalam kosa kata bahasa Arab. Kedua, adanya perbedaan ciri-ciri susunan sintaksis antara satu bahasa dengan bahasa lain.
Aliran kedua, adalah cara yang dianut oleh Hunain bin Ishaq, Al-Jauhari dan lain-lainnya. Aliran ini berpokok pangkal kepada penguasaan seorang penterjemah terhadap konsep yang dikandung kalimat, kemudian ia mengungkapkan konsep tersebut dengan kalimat yang seimbang.
Dari dua aliran yang di ungkapkan oleh Al-Hasan Azzayat di atas, akhirnya melahirkan dua metode penerjemahan secara garis besar, sebagaimana yang diungkap oleh beberapa ahli. Dua metode tersebut, yaitu terjemahan harfiah dan terjemahan bebas.
Muhammad Mansur dan Kustiwan merumuskan metode terjemahan dalam dua bagian besar, yaitu terjemahan harfiah dan terjemahan Maknawiyah (Hurtado Albir: 2001 )“Terjemahan harfiah ialah terjemahan yang memperhatikan peniruan teks asli dalam jumlah kata, susunan dan urutannya. Jadi, terjemahan harfiah mirip dengan menyusun kata-kat di tempat padanannya.”
Terjemahan maknawiyah (bebas), yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain sambil memperhatikan kesepadanan makna dan maksud bahasa asal serta kenetralan redaksi, sekirannya cukup dengan terjemahan yang seolah-olah bukan terjemahan.
Terjemahan tafsiriyyah atau terjemahan maknawiyyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnaya.
Sedangkan Newmark (1988) juga mengajukan dua metode penerjemahan, yaitu (1) metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa sumber (BSu); (2) metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa sasaran (BSa). walaupun kemudian, Newmark menjelaskannya menjadi delapan metode penerjemahan, yaitu penerjemahan kata-demi-kata, Penerjemahn harfiah, penerjemahan setia, penerjemahan semantik, penerjemahan adaptasi (saduran), Penerjemahan bebas, penerjemahan idiomatik dan penerjemahan komunikatif.
Dari beberapa definisi tentang metode penerjemahan yang diungkapkan di atas, penulis merasa perlu untuk mejelaskan kedua metode tersebut, agar lebih jelas serta mudah dipahami.
Terjemahan harfiyah, melingkupi terjemahan-terjemahan yang sangat setia terhadap teks sumber. Kesetiaan biasanya digambarkan oleh ketaatan penerjemah terhadap aspek tata bahasa teks sumber, seperti urutan-urutan bahasa, bentuk frase, bentuk kalimat dan sebagainya. Akibat yang sering muncul dari terjemahan ini adalah, hasil terjemahannya menjadi saklek dan kaku karena penerjemah memaksakan aturan-aturan tata bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Padahal, keduanya memiliki perbedaan yang mendasar.
Metode terjemahan ini sangat populer dipraktekan di Eropa pada abad pertengahan dan berkembang secara meluas, terutama sekali pada naskah yang dianggap sakral; kitab-kitab suci sebagai suara yang diwahyukan Tuhan. Terjemahan ini pula sampai sekarang masih dilakukan terhadap Kitab Suci, misalnya Injil dan Al-Qur’an.
Adapun yang dimaksud dengan terjemahan bebas (Tafsiriyyah), bukan berarti seorang penerjemah boleh menerjemahkan sekehendak hatinya, sehingga esensi terjemahan itu sendiri hilang. Bebas di sini berarti seorang penerjemah dalam menjalankan misinya tidak terlalu terikat oleh bentuk maupun struktur kalimat yang terdapat pada naskah yang berbahasa sumber. Ia boleh melakukan modifikasi kalimat dengan tujuan agar pesan atau maksud penulis naskah mudah dimengerti secara jelas oleh pembacanya. Berdasarkan paparan di atas berikut ini penulis memfokuskan bahasan makalah ini tentang terjemahan harfiah yang diambil dari sumber utama: A Textbook of Translation, Chapter 7 oleh Peter Newmark.